Saturday, 2 March 2019

BELAJAR DARI KEPEMIMPINAN MUSA

Kepemimpinan Kristen memiliki dasar dan pola yang sangat berbeda dengan dasar dan pola kepemimpinan pada umumnya. Di sinilah letak keunikan dari kepemimpinan Kristen yang harus dipahami dan dimengerti oleh setiap pemimpin Kristen. Pemimpin harus mampu menghargai kelebihan setiap orang dan dapat memanfaatkannya secara maksimal. Sebaliknya juga harus memahami kekurangan, kelemahan, dan keterbatasannya.

I. Siapakah Musa
Musa adalah orang yang telah memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir dimana mereka telah menjadi budak selama 430 tahun. Dengan tangan Tuhan yang memimpinnya, Musa membawa kira-kira dua juta orang menuju tanah perjanjian dimana ada kemerdekaan dan kebebasan berbakti kepada Tuhan. seluruh hidup Musa, 120 tahun, terbentuk dari tiga periode (tahap) yang masing-masing terdiri dari 40 tahun. 

Di dalam 40 tahun yang pertama Musa hidup dengan segala kelemahan, kemuliaan dan kehormatan di tanah Mesir. Pada zaman itu (sekitar abad 17 SM), Mesir merupakan kerajaan terbesar di seluruh dunia. Sejak masih bayi Musa di angkat oleh putri Raja Firaun sebagai anaknya (Kel. 2). Menurut catatan sejarah kuno, Musa pernah berjasa besar didalam memimpin tentara Mesir berperang dan menang melawan negara-negara Etiopia. Musa mempunyai jasa, kuasa dan kemuliaan besar di tanah Mesir, meskipun dia seorang Ibrani.[1]

Kemudian ia harus meninggalkan segala kekayaan, kemuliaan, kuasa politik atau militer dan segala kenikmatan hidup di istana Mesir, karena secara konstitusiaonal ia telah bersalah dengan membunuh seorang bangsa orang Mesir (Kel 2:11-15). Selama 40 tahun berikutnya ia harus hidup dipadang belantara, ditengah kambing domba dan binatang-binatang yang tidak mengerti bahasanya. Kisah Para Rasul 7:22 mencatat kisah Musa ketika masih muda, ia telah mempelajari segala pengetahuan di Mesir pada waktu itu, jika melihat dan membaca kelima kitab yang di tulis oleh Musa (Pentateuk: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan) apa yang dipelajari dan di ketahui oleh Musa dan lagi-lagi ini semua membuktikan betapa hebatnua Musa, tetapi akhirnya dia dipimpin oleh Tuhan, 40 tahun hidup sebagai penggembala ternak di padang pasir. Kalau 40 pertama dilewatinya dengan menikmati segala sesuatu di istana Mesir, maka 40 tahun kedua ini dia meninggalkan segala sesuatu dan tinggal di padang belantara.

Akhirnya setelah berusia 80 tahun, Tuhan memanggil Musa untuk kembali ke Mesir, bukan karena Firaun yang dulu hendak membunuhnya sudah mati tetapi, dan bukan untuk mendapatkan kembali segala kemuliaan yang dulu dimilikinya, melainkan untuk berdiri di hadapan Firaun dan meminta kepadanya supaya diijinkan membawa bangsa Israel keluar dari sana. Ini tugas yang sangat berat, pada waktu di panggil Tuhan, Musa mengemukakan alasan “Aku tidak fasig lidah” (Kel 4:10), namun Tuhan tidak menerima alasan apapun dari manusia yang menolak panggilan-Nya, Tuhan berkata: “Siapakah yang menciptakan lidah manusia, bukankah Aku, yakni TUHAN (Kel 4:11). Dialah pemimpin imigrasi terbesar dalam sejarah yang di sebut Exodus ini, pemimpin Kristen masa kini dapat mempelajari pola kepemimpinan Musa bagi pelayanannya.

II. Karakter dan kepribadian Musa
Musa sebenarnya bukan orang yang tidak luput dari salah, ia adalah manusia yang punya kekurangan dan kelemahan juga, tetapi kepribadian yang baik dan teladan hidup yang positif merupakan sesuatu hal yang tidak bisa di pisahkan dalam diri seorang pemimpin Kristen. Tindakan Musa menolong mereka yang tertindas, baik orang Ibrani sendiri (Kel 2:11-15a) maupun orang Midian (Kel 2:15b-22) ini menunjukkan bahwa Musa adalah seorang pribadi yang mau membela mereka yang tertindas Ia adalah pria yang beriman. Allah nyata bagi Musa, begitu nyatanya sehingga belakangan rasul Paulus mengatakan bahwa Musa ”tetap kokoh seperti melihat Pribadi yang tidak kelihatan”. ( Ibrani 11:24-28). Selain itu juga adalah kerendahan hatinya, dikatakan bahwa ia adalah ”pria yang paling lembut, jauh melebihi semua orang yang ada di permukaan bumi” (Bilangan 12:3).

Dalam Kel. 32-34 dengan jelas mengungkapkan Musa sebagai pemimpin yang berjuang dan berpihak kepada orang yang dipimpinnya. Musa berdoa syafaat untuk bangsa Israel yang telah memberontak, agar mereka mendapat pengampunan dari Allah. Walaupun ada kisah-kisah yang dapat memberikan petunjuk tentang sifat atau kepribadian Musa, namun tidaklah untuk mengkategorikan tipe kepemimpinan Musa.[2] Tetapi meskipun demikian kepemimpinan Musa lebih bergantung pada kehendak, rencana dan norma-norma Allah. Kepemimpinan Musa bukan semata-mata bergantung pada sifat, kebiasaan, atau kepribadian khas Musa.

Kepemimpinan Alkitabiah bukanlah kepemimpinan yang mandiri (tergantung semata-mata pada diri sang pemimpin), tetapi lebih berupa kepemimpinan teokratis, di mana sang pemimpin tunduk kepada Allah, sang Pemimpin Utama. Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mengkategorikan tipe kepemimpinan Musa, tetapi meskipun demikian kepribadian yang baik harus di anggap sebagai syarat yang harus di penuhi oleh seorang pemimpin Kristen.

III. Panggilan Musa
Jika seseorang menyelusuri kepemimpinan Musa dalam kitab Keluaran, ia akan menemukan ada hal lain yang penting bagi seorang pemimpin, yaitu panggilan Ilahi. Kepemimpinan Alkitabiah menekankan mutlaknya panggilan Ilahi bagi seorang pemimpin. Panggilan Ilahi inilah yang melahirkan atau menyebabkan munculnya seorang pemimpin. Kepemimpinan Alkitabiah tak dapat dilepaskan dari rencana Allah bagi seseorang ataupun umat Allah, dan hal ini merupakan syarat yang harus di penuhi oleh seorang pemimpin Kristen sebab jika tidak memiliki panggilan maka kepemimpinannya bisa saja di lakukan dengan tidak takut akan Tuhan bahkan ia akan membiarkan semuanya rusak apabila bertemu dengan berbagai masalah.[3] Keluaran 3 mengungkapkan panggilan Allah bagi Musa untuk menjadi seorang pemimpin, khususnya ayat 11 yang mengungkapkan: “Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir.” Allah memanggil Musa untuk memimpin orang Israel keluar dari perbudakan Mesir.

Dalam rencana-Nya Allah mempersiapkan dan memanggil Musa untuk menjadi seorang pemimpin. Sebelum memanggil Musa sebagai seorang pemimpin, Allah telah mempersiapkan Musa jauh sebelumnya. Dalam rencana-Nya Allah menyelamatkan Musa dari perintah Firaun untuk membunuh seluruh bayi laki-laki orang Ibrani, bahkan Musa diangkat sebagai anak oleh puteri Firaun (Kel. 2). Bahhkan Musa kecil ini mendapat pendidikan terbaik Mesir dalam berbagai ilmu sebagai hak yang diterimanya sebagai anak puteri Firaun.[4] Allah dalam rencana-Nya mempersiapkan Musa dengan hal-hal yang dibutuhkan atau syarat yang harus di penuhi untuk menjadi seorang pemimpin.[5] Panggilan Ilahi itu juga lebih kuat dan mengalahkan keraguan dan kelemahan pribadi Musa (Kel 3-4). Meskipun pada waktu di panggil Tuhan, Musa mengemukakan alasan “Aku tidak fasih lidah” (Kel 4:10) (ini juga merupakan sifat Musa yang tidak percaya diri) namun Tuhan tidak menerima alasan apapun dari manusia yang menolak panggilan-Nya, Tuhan berkata: “Siapakah yang menciptakan lidah manusia, bukankah Aku, yakni TUHAN (Kel 4:11).

Allah menolong Musa untuk mengatasi keraguan dan kelemahannya dengan pelbagai perlengkapan yang dibutuhkannya sebagai seorang pemimpin. Allah memperkenalkan Diri-Nya sebagai AKU ADALAH AKU (Kel. 3:14), Allah memberikan Musa kemampuan untuk melakukan berbagai mujizat (Kel. 4:2-9). Allah memberikan Harun untuk menjadi pendamping dan juru bicara Musa (Kel. 4:14-16). Kepemimpinan Alkitabiah bersumberkan pada panggilan Ilahi. Allah memanggil seseorang untuk menjadi seorang pemimpin. Allah yang memanggil itu, Allah yang menyertai dan memperlengkapi pemimpin yang dipilih dan dipanggil-Nya itu meskipun tidak terlepas dari kekurangan kelemahan seperti Musa. Tantangan bagi pemimpin masa kini adalah untuk dapat mengenali perbedaan antara model kepemimpinan terbaru yang ngetren saat ini dan kebenaran yang kekal yang diterapkan oleh Allah.[6]

IV. Keluarga Musa
Usaha pertama Firaun untuk melemahkan orang Israel tidak berhasil tetapi Firaun datang dengan skema mengerikan lainnya. Kemudian Firaun memberikan perintah ini kepada seluruh umatnya: "Setiap anak laki-laki yang lahir haruslah kamu bunuh, tetapi biarlah setiap perempuannya tinggal." (Keluaran 1:22) termasuk juga dalam kisah masa kecilnya. Seperti semua bayi lelaki sebangsanya, hidup Musa terancam oleh keputusan Firaun. Namun, Musa bertahan hidup berkat kebaikan hati dan perlindungan dari penghuni istana Firaun sendiri. Meskipun demikian, pengadopsian ini tidak menentukan karirnya di masa depannya.

Selama 40 tahun Musa menjalani kesunyiannya di padang gurun tandus, hidup di dalam kesederhanaan, mungkin tujuan hidupnya saat itu hanyalah dapat melihat anak-anaknya bertumbuh dan menjadi dewasa, dan menghabiskan masa tuanya bersama dengan istrinya tercinta. Namun tidak demikan dengan rencana Allah, yang membuat hidupnya  berubah.

V. Kejatuhan dan kegagalan Musa
Musa melakukan kesalahan yang serius, fakta bahwa Musa tidak saja mendapat kedudukan yang sangat istimewa, tetapi juga bahwa sebagai pemimpin dan perantara bagi bangsa itu ia memikul tanggung jawab yang sangat berat terhadap TUHAN. Oleh karena kekurangan air, bangsa itu mulai berselisih tajam dengan Musa, menyalahkannya karena telah membawa mereka keluar dari Mesir ke padang belantara yang tandus.

Musa telah menanggung banyak hal, sabar menghadapi orang Israel yang suka memberontak dan tidak mau patuh, ikut mengalami penderitaan mereka, dan menjadi penengah bagi mereka pada waktu mereka berdosa, tetapi pada peristiwa ini untuk sesaat ia kehilangan sifatnya yang lembut. Dengan perasaan kesal dan sakit hati, Musa dan Harun berdiri di hadapan bangsa itu sebagaimana yang TUHAN perintahkan. Namun, mereka bukannya mengarahkan perhatian kepada TUHAN sebagai Penyedia, malah berbicara dengan kasar kepada bangsa itu dan menarik perhatian kepada diri mereka. Musa mengatakan, ”Dengarlah, kamu para pemberontak! Apakah dari tebing batu ini kami harus mengeluarkan air bagimu?” Lalu Musa memukul batu itu dan Yehuwa menyebabkan air mengalir keluar, cukup bagi seluruh himpunan serta kawanan ternak mereka. Akan tetapi, Allah tidak senang akan tindakan Musa dan Harun.

Mereka gagal memenuhi tanggung jawab mereka yang utama, yaitu mengagungkan nama Yehuwa. Mereka ’lalai melakukan kewajiban’ mereka kepada TUHAN, dan Musa telah ”berbicara secara gegabah dengan bibirnya”. Belakangan, TUHAN menetapkan, ”Karena kamu tidak beriman kepadaku sehingga tidak menyucikan aku di depan mata putra-putra Israel, maka kamu tidak akan membawa jemaat ini ke negeri yang akan kuberikan kepada mereka.” (Bil 20:1; Ul 32:50; bdk. Mzm 106:32-33). 

VI. Peran dan tanggung jawab Musa sebagai seorang pemimpin
Peran Musa dalam kehidupan Israel mempunyai sifat umum dan khusus. Bersifat umum, karena karakteristik peran tertentu dapat dilihat pada tokoh-tokoh Perjanjian Lama lainnya. Bersifat khusus, karena karakteristik perannya bersifat khusus untuk Musa dan tak dapat dikenakan kepada tokoh-tokoh lainnya. Musa mempunyai keunikan peran yang tak dapat diulang oleh pemimpin lainnya.

a.      a. Sebagai Pembebas
Peran Musa yang jelas adalah memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir menuju tanah perjanjian dan mengajar bangsa Israel hukum dan peraturan yang Allah berikan kepada umat-Nya ini. Musa dapat disebut “the Liberator” (peristiwa Keluaran), “the Shepherd” (padang gurun) dan “the Lawagiver” (gunung Sinai).[7] Sebagai Pembebas (“the Liberator”), Musa tidak secara mutlak membebaskan bangsa Israel dari kekuasaan Mesir dengan kemampuannya, tetapi Pembebas Sejati bangsa Israel adalah Allah sendiri. Musa adalah alat atau instrumen Allah dalam membebaskan umat-Nya.

b.     b. Sebagai Gembala
Sebagai Gembala (“the Shepherd”) Musa memimpin bangsa Israel di padang gurun dengan kemampuannya untuk mencukupi segala kebutuhan mereka dan menjaga kesejahteraan mereka, tetapi Musa adalah alat Allah untuk memimpin dan memelihara umat-Nya di padang gurun. Sebagai Pemberi Hukum (“the Lawagiver”) Musa mengajarkan hukum dan peraturan yang ia terima dari Allah. Bagian akhir dari Kel 4:20 berkata “dan tongkat Allah itu di pegangnya di tangannya”,  itu adalah bagian dari pada perlengkapan penggembalaanya.[8]

c.     c. Sebagai penerima Wahyu Allah
Sebagaimana sering dikemukakan di masa lalu, siapakah yang dapat menyususun dengan baik segala kitab-kitab ini, jika melihat dan membaca kelima kitab yang di tulis oleh Musa (Pentateuk: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan) apa yang dipelajari dan di ketahui oleh Musa dan lagi-lagi ini semua membuktikan betapa hebatnyua dan besarnya peran dan tanggung jawab  Musa. Tuhan memanggil Musa untuk naik ke atas gunung dan berfirman," Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan." Setelah Tuhan berfirman, Ia menuliskan sepuluh perintah diatas dua loh batu. Tuhan memberikan suatu ukuran kekudusan yang sempurna melalui perintah-perintah ini, tapi Dia juga menunjukkan kepada Musa apa yang mereka harus lakukan jika melanggar perintah tersebut.[9] Allah memberikan Musa Sepuluh Perintah Allah, perintah yang harus kita patuhi untuk menyenangkan hati Allah. Salah satu dari perintah tersebut berbunyi bahwa kita tidak boleh menyembah allah lain selain Tuhan Allah. Sepuluh Perintah Allah ditulis di atas dua loh batu oleh jari Allah sendiri.

Kepemimpinan yang Alkitabiah adalah kepemimpinan teokratik di mana sang pemimpin tunduk kepada Allah, sang Pemimpin Utama. Pemimpin Kristiani bukanlah penguasa atau tuan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin Kristiani harus senantiasa menyadari bahwa ia sedang menjalankan kepemimpin Allah melalui dirinya. Sebagai pemimpin umat, ia harus senantiasa taat dan tunduk kepada Allah yang merupakan Pemimpin Utama. Kepemimpinan Alkitabiah tak mengajarkan tentang kepemimpinan yang mandiri atau “seenak dan semau” sang pemimpin. Seorang pemimpin Kristiani harus senantiasa sadar bahwa ia ada di bawah kendali Allah yang memilih dan memanggilnya.

Kesadaran ini menolong seorang pemimpin untuk mempunyai keseimbangan dalam mengenal dan menghargai dirinya. Seorang pemimpin yang dipilih oleh Allah mempunyai peran khusus dan khas dalam eranya untuk menjawab kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya. Yang terpenting bagi seorang pemimpin adalah menjalankan sebaik mungkin peran yang ditetapkan Allah bagi dirinya, Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa ia dipilih Allah sebagai pemimpin dalam eranya.

Seorang  pemimpin tak terlepas dari kekurangan dan kelebihan, tetapi ia harus siap juga untuk berkata bahwa ia telah dipanggil Allah untuk menjalankan peran yang khusus dan menjadi teladan bagi orang-orang yang dipimpinya. Seperti halnya kepemimpinan Musa lebih bergantung pada kehendak, rencana dan norma-norma Allah, baiklah pemimpin-pemimpin Kristen juga tetap mengandalkan kuasa Allah.

VI.           PUSTAKA
Tong. Stephen, Waktu dan Hikmat, Surabaya, Momentum, 2012
Bitt. Brian, Rewriting Moses. The Narrative Eclipse of the Text.  JSOT Supplement Series 402, London, T & T Clark International, 2004
W.H, Grispen, Exodus Grand Rapids, MI Zondervan Publishing House, 1982
Nohrnberg. James, Like Unto Moses: The Constituting of an Interpretation Indiana Studies in Biblical Literature; Bloomington: Indiana University Press, 1995
Blackaby. Henry dan Richard, Kepemimpinan Rohani, Jakarta, Gospel, 2009
Coats. W. George, Moses. Heroic Man, Man of God. JSOT Sup. Series 57, Sheffield: JSOT Press, 1988
Swindoll. R, Charles, Musa; pria berdedikasi dan tak mementingkan diri sendiri, Bandung, Cipta Olah Pustaka, 2002




[1] Stephen Tong, Waktu dan Hikmat, (Surabaya: Momentum, 2012).7-9
[2]  Brian Bitt, Rewriting Moses. The Narrative Eclipse of the Text.  JSOT Supplement Series 402 (London: T & T Clark International, 2004).5
[3]W.H, Grispen, Exodus (Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House, 1982).41
[4]Ibid. 42
[5] Musa adalah “a Hebrew Egyptian and an Egyptian Hebrew”. Dualitas ini merupakan bagian persiapan Allah untuk Musa sebagai pemimpin yang membebaskan bangsa Israel dari kekuasaan bangsa Mesir. Bahkan pelarian di Midian sesudah membunuh orang Mesir harus dilihat sebagai bagian persiapan Allah bagi Musa (Kel. 2:11-22). (James Nohrnberg, Like Unto Moses: The Constituting of an Interpretation Indiana Studies in Biblical Literature; Bloomington: Indiana University Press, 1995).135
[6] Henry dan Richard Blackaby, Kepemimpinan Rohani; (Jakarta : Gospel, 2009).30
[7] George W. Coats, Moses. Heroic Man, Man of God, (Sheffield: JSOT Press, 1988),  157-166.
[8] Charles. R. Swindoll, Musa; pria berdedikasi dan tak mementingkan diri sendiri, (Bandung: Cipta Olah Pustaka, 2002).203
[9] Andre E. Hill dan John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2008).142

No comments:

Post a Comment

Update Terbaru