Kepemimpinan Kristen memiliki
dasar dan pola yang sangat berbeda dengan dasar dan pola kepemimpinan pada
umumnya. Di sinilah letak keunikan dari kepemimpinan Kristen yang harus
dipahami dan dimengerti oleh setiap pemimpin Kristen. Pemimpin harus mampu
menghargai kelebihan setiap orang dan dapat memanfaatkannya secara maksimal.
Sebaliknya juga harus memahami kekurangan, kelemahan, dan keterbatasannya.
I. Siapakah Musa
Musa adalah orang yang telah
memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir dimana mereka telah menjadi
budak selama 430 tahun. Dengan tangan Tuhan yang memimpinnya, Musa membawa
kira-kira dua juta orang menuju tanah perjanjian dimana ada kemerdekaan dan
kebebasan berbakti kepada Tuhan. seluruh hidup Musa, 120 tahun, terbentuk dari
tiga periode (tahap) yang masing-masing terdiri dari 40 tahun.
Di dalam 40 tahun yang pertama
Musa hidup dengan segala kelemahan, kemuliaan dan kehormatan di tanah Mesir.
Pada zaman itu (sekitar abad 17 SM), Mesir merupakan kerajaan terbesar di
seluruh dunia. Sejak masih bayi Musa di angkat oleh putri Raja Firaun sebagai
anaknya (Kel. 2). Menurut catatan sejarah kuno, Musa pernah berjasa besar
didalam memimpin tentara Mesir berperang dan menang melawan negara-negara
Etiopia. Musa mempunyai jasa, kuasa dan kemuliaan besar di tanah Mesir,
meskipun dia seorang Ibrani.[1]
Kemudian ia harus meninggalkan
segala kekayaan, kemuliaan, kuasa politik atau militer dan segala kenikmatan
hidup di istana Mesir, karena secara konstitusiaonal ia telah bersalah dengan
membunuh seorang bangsa orang Mesir (Kel 2:11-15). Selama 40 tahun berikutnya
ia harus hidup dipadang belantara, ditengah kambing domba dan binatang-binatang
yang tidak mengerti bahasanya. Kisah Para Rasul 7:22 mencatat kisah Musa ketika
masih muda, ia telah mempelajari segala pengetahuan di Mesir pada waktu itu,
jika melihat dan membaca kelima kitab yang di tulis oleh Musa (Pentateuk:
Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan) apa yang dipelajari dan di
ketahui oleh Musa dan lagi-lagi ini semua membuktikan betapa hebatnua Musa,
tetapi akhirnya dia dipimpin oleh Tuhan, 40 tahun hidup sebagai penggembala
ternak di padang pasir. Kalau 40 pertama dilewatinya dengan menikmati segala
sesuatu di istana Mesir, maka 40 tahun kedua ini dia meninggalkan segala
sesuatu dan tinggal di padang belantara.
Akhirnya setelah berusia 80
tahun, Tuhan memanggil Musa untuk kembali ke Mesir, bukan karena Firaun yang
dulu hendak membunuhnya sudah mati tetapi, dan bukan untuk mendapatkan kembali
segala kemuliaan yang dulu dimilikinya, melainkan untuk berdiri di hadapan
Firaun dan meminta kepadanya supaya diijinkan membawa bangsa Israel keluar dari
sana. Ini tugas yang sangat berat, pada waktu di panggil Tuhan, Musa
mengemukakan alasan “Aku tidak fasig lidah” (Kel 4:10), namun Tuhan tidak
menerima alasan apapun dari manusia yang menolak panggilan-Nya, Tuhan berkata:
“Siapakah yang menciptakan lidah manusia, bukankah Aku, yakni TUHAN (Kel
4:11). Dialah pemimpin imigrasi terbesar dalam sejarah yang di sebut
Exodus ini, pemimpin Kristen masa kini dapat mempelajari pola kepemimpinan Musa
bagi pelayanannya.
II. Karakter dan kepribadian Musa
Musa sebenarnya bukan orang yang
tidak luput dari salah, ia adalah manusia yang punya kekurangan dan kelemahan
juga, tetapi kepribadian yang baik dan teladan hidup yang positif merupakan
sesuatu hal yang tidak bisa di pisahkan dalam diri seorang pemimpin Kristen.
Tindakan Musa menolong mereka yang tertindas, baik orang Ibrani sendiri (Kel
2:11-15a) maupun orang Midian (Kel 2:15b-22) ini menunjukkan bahwa Musa adalah
seorang pribadi yang mau membela mereka yang tertindas Ia adalah pria yang
beriman. Allah nyata bagi Musa, begitu nyatanya sehingga belakangan rasul
Paulus mengatakan bahwa Musa ”tetap kokoh seperti melihat Pribadi yang
tidak kelihatan”. ( Ibrani 11:24-28). Selain itu juga adalah kerendahan
hatinya, dikatakan bahwa ia adalah ”pria yang paling lembut, jauh melebihi
semua orang yang ada di permukaan bumi” (Bilangan 12:3).
Dalam Kel. 32-34 dengan jelas
mengungkapkan Musa sebagai pemimpin yang berjuang dan berpihak kepada orang
yang dipimpinnya. Musa berdoa syafaat untuk bangsa Israel yang telah
memberontak, agar mereka mendapat pengampunan dari Allah. Walaupun ada kisah-kisah
yang dapat memberikan petunjuk tentang sifat atau kepribadian Musa, namun
tidaklah untuk mengkategorikan tipe kepemimpinan Musa.[2] Tetapi meskipun demikian
kepemimpinan Musa lebih bergantung pada kehendak, rencana dan norma-norma
Allah. Kepemimpinan Musa bukan semata-mata bergantung pada sifat, kebiasaan,
atau kepribadian khas Musa.
Kepemimpinan Alkitabiah bukanlah
kepemimpinan yang mandiri (tergantung semata-mata pada diri sang pemimpin),
tetapi lebih berupa kepemimpinan teokratis, di mana sang pemimpin tunduk kepada
Allah, sang Pemimpin Utama. Oleh karena itu sangatlah sulit untuk
mengkategorikan tipe kepemimpinan Musa, tetapi meskipun demikian kepribadian
yang baik harus di anggap sebagai syarat yang harus di penuhi oleh seorang
pemimpin Kristen.
III. Panggilan Musa
Jika seseorang menyelusuri
kepemimpinan Musa dalam kitab Keluaran, ia akan menemukan ada hal lain yang
penting bagi seorang pemimpin, yaitu panggilan Ilahi. Kepemimpinan Alkitabiah
menekankan mutlaknya panggilan Ilahi bagi seorang pemimpin. Panggilan Ilahi
inilah yang melahirkan atau menyebabkan munculnya seorang pemimpin.
Kepemimpinan Alkitabiah tak dapat dilepaskan dari rencana Allah bagi seseorang
ataupun umat Allah, dan hal ini merupakan syarat yang harus di penuhi oleh
seorang pemimpin Kristen sebab jika tidak memiliki panggilan maka
kepemimpinannya bisa saja di lakukan dengan tidak takut akan Tuhan bahkan ia
akan membiarkan semuanya rusak apabila bertemu dengan berbagai masalah.[3] Keluaran
3 mengungkapkan panggilan Allah bagi Musa untuk menjadi seorang pemimpin,
khususnya ayat 11 yang mengungkapkan: “Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus
engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir.”
Allah memanggil Musa untuk memimpin orang Israel keluar dari perbudakan Mesir.
Dalam rencana-Nya Allah
mempersiapkan dan memanggil Musa untuk menjadi seorang pemimpin. Sebelum
memanggil Musa sebagai seorang pemimpin, Allah telah mempersiapkan Musa jauh
sebelumnya. Dalam rencana-Nya Allah menyelamatkan Musa dari perintah Firaun
untuk membunuh seluruh bayi laki-laki orang Ibrani, bahkan Musa diangkat
sebagai anak oleh puteri Firaun (Kel. 2). Bahhkan Musa kecil ini mendapat
pendidikan terbaik Mesir dalam berbagai ilmu sebagai hak yang diterimanya
sebagai anak puteri Firaun.[4] Allah dalam rencana-Nya
mempersiapkan Musa dengan hal-hal yang dibutuhkan atau syarat yang harus di
penuhi untuk menjadi seorang pemimpin.[5] Panggilan Ilahi itu juga lebih
kuat dan mengalahkan keraguan dan kelemahan pribadi Musa (Kel 3-4). Meskipun
pada waktu di panggil Tuhan, Musa mengemukakan alasan “Aku tidak fasih lidah”
(Kel 4:10) (ini juga merupakan sifat Musa yang tidak percaya diri) namun Tuhan
tidak menerima alasan apapun dari manusia yang menolak panggilan-Nya, Tuhan
berkata: “Siapakah yang menciptakan lidah manusia, bukankah Aku, yakni TUHAN
(Kel 4:11).
Allah menolong Musa untuk
mengatasi keraguan dan kelemahannya dengan pelbagai perlengkapan yang
dibutuhkannya sebagai seorang pemimpin. Allah memperkenalkan Diri-Nya sebagai
AKU ADALAH AKU (Kel. 3:14), Allah memberikan Musa kemampuan untuk melakukan
berbagai mujizat (Kel. 4:2-9). Allah memberikan Harun untuk menjadi pendamping
dan juru bicara Musa (Kel. 4:14-16). Kepemimpinan Alkitabiah bersumberkan pada
panggilan Ilahi. Allah memanggil seseorang untuk menjadi seorang pemimpin.
Allah yang memanggil itu, Allah yang menyertai dan memperlengkapi pemimpin yang
dipilih dan dipanggil-Nya itu meskipun tidak terlepas dari kekurangan kelemahan
seperti Musa. Tantangan bagi pemimpin masa kini adalah untuk dapat mengenali
perbedaan antara model kepemimpinan terbaru yang ngetren saat ini dan kebenaran
yang kekal yang diterapkan oleh Allah.[6]
IV. Keluarga Musa
Usaha pertama Firaun untuk
melemahkan orang Israel tidak berhasil tetapi Firaun datang dengan skema
mengerikan lainnya. Kemudian Firaun memberikan perintah ini kepada seluruh
umatnya: "Setiap anak laki-laki yang lahir haruslah kamu bunuh,
tetapi biarlah setiap perempuannya tinggal." (Keluaran 1:22) termasuk juga
dalam kisah masa kecilnya. Seperti semua bayi lelaki sebangsanya, hidup Musa
terancam oleh keputusan Firaun. Namun, Musa bertahan hidup berkat kebaikan hati
dan perlindungan dari penghuni istana Firaun sendiri. Meskipun demikian,
pengadopsian ini tidak menentukan karirnya di masa depannya.
Selama 40 tahun Musa menjalani
kesunyiannya di padang gurun tandus, hidup di dalam kesederhanaan, mungkin
tujuan hidupnya saat itu hanyalah dapat melihat anak-anaknya bertumbuh dan
menjadi dewasa, dan menghabiskan masa tuanya bersama dengan istrinya tercinta.
Namun tidak demikan dengan rencana Allah, yang membuat
hidupnya berubah.
V. Kejatuhan dan
kegagalan Musa
Musa melakukan kesalahan yang
serius, fakta bahwa Musa tidak saja mendapat kedudukan yang sangat istimewa,
tetapi juga bahwa sebagai pemimpin dan perantara bagi bangsa itu ia memikul
tanggung jawab yang sangat berat terhadap TUHAN. Oleh karena kekurangan air,
bangsa itu mulai berselisih tajam dengan Musa, menyalahkannya karena telah
membawa mereka keluar dari Mesir ke padang belantara yang tandus.
Musa telah menanggung banyak hal,
sabar menghadapi orang Israel yang suka memberontak dan tidak mau patuh, ikut
mengalami penderitaan mereka, dan menjadi penengah bagi mereka pada waktu
mereka berdosa, tetapi pada peristiwa ini untuk sesaat ia kehilangan sifatnya
yang lembut. Dengan perasaan kesal dan sakit hati, Musa dan Harun berdiri di
hadapan bangsa itu sebagaimana yang TUHAN perintahkan. Namun, mereka bukannya
mengarahkan perhatian kepada TUHAN sebagai Penyedia, malah berbicara dengan
kasar kepada bangsa itu dan menarik perhatian kepada diri mereka. Musa
mengatakan, ”Dengarlah, kamu para pemberontak! Apakah dari tebing batu ini kami
harus mengeluarkan air bagimu?” Lalu Musa memukul batu itu dan Yehuwa
menyebabkan air mengalir keluar, cukup bagi seluruh himpunan serta kawanan
ternak mereka. Akan tetapi, Allah tidak senang akan tindakan Musa dan Harun.
Mereka gagal memenuhi tanggung
jawab mereka yang utama, yaitu mengagungkan nama Yehuwa. Mereka ’lalai
melakukan kewajiban’ mereka kepada TUHAN, dan Musa telah ”berbicara secara
gegabah dengan bibirnya”. Belakangan, TUHAN menetapkan, ”Karena kamu tidak
beriman kepadaku sehingga tidak menyucikan aku di depan mata putra-putra
Israel, maka kamu tidak akan membawa jemaat ini ke negeri yang akan kuberikan
kepada mereka.” (Bil 20:1; Ul 32:50; bdk. Mzm 106:32-33).
VI. Peran dan tanggung jawab Musa
sebagai seorang pemimpin
Peran Musa dalam kehidupan Israel
mempunyai sifat umum dan khusus. Bersifat umum, karena karakteristik peran
tertentu dapat dilihat pada tokoh-tokoh Perjanjian Lama lainnya. Bersifat
khusus, karena karakteristik perannya bersifat khusus untuk Musa dan tak dapat
dikenakan kepada tokoh-tokoh lainnya. Musa mempunyai keunikan peran yang tak
dapat diulang oleh pemimpin lainnya.
a.
a. Sebagai Pembebas
Peran Musa yang jelas adalah
memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir menuju tanah perjanjian dan
mengajar bangsa Israel hukum dan peraturan yang Allah berikan kepada umat-Nya
ini. Musa dapat disebut “the Liberator” (peristiwa Keluaran), “the Shepherd”
(padang gurun) dan “the Lawagiver” (gunung Sinai).[7] Sebagai Pembebas (“the
Liberator”), Musa tidak secara mutlak membebaskan bangsa Israel dari kekuasaan
Mesir dengan kemampuannya, tetapi Pembebas Sejati bangsa Israel adalah Allah
sendiri. Musa adalah alat atau instrumen Allah dalam membebaskan umat-Nya.
b. b. Sebagai
Gembala
Sebagai Gembala (“the Shepherd”)
Musa memimpin bangsa Israel di padang gurun dengan kemampuannya untuk mencukupi
segala kebutuhan mereka dan menjaga kesejahteraan mereka, tetapi Musa adalah
alat Allah untuk memimpin dan memelihara umat-Nya di padang gurun. Sebagai
Pemberi Hukum (“the Lawagiver”) Musa mengajarkan hukum dan peraturan yang ia
terima dari Allah. Bagian akhir dari Kel 4:20 berkata “dan tongkat Allah itu di
pegangnya di tangannya”, itu adalah bagian dari pada perlengkapan penggembalaanya.[8]
c. c. Sebagai
penerima Wahyu Allah
Sebagaimana sering dikemukakan di
masa lalu, siapakah yang dapat menyususun dengan baik segala kitab-kitab ini,
jika melihat dan membaca kelima kitab yang di tulis oleh Musa (Pentateuk:
Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan) apa yang dipelajari dan di
ketahui oleh Musa dan lagi-lagi ini semua membuktikan betapa hebatnyua dan
besarnya peran dan tanggung jawab Musa. Tuhan memanggil Musa
untuk naik ke atas gunung dan berfirman," Akulah TUHAN, Allahmu, yang
membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan." Setelah
Tuhan berfirman, Ia menuliskan sepuluh perintah diatas dua loh batu. Tuhan
memberikan suatu ukuran kekudusan yang sempurna melalui perintah-perintah ini,
tapi Dia juga menunjukkan kepada Musa apa yang mereka harus lakukan jika
melanggar perintah tersebut.[9] Allah memberikan Musa Sepuluh
Perintah Allah, perintah yang harus kita patuhi untuk menyenangkan hati Allah.
Salah satu dari perintah tersebut berbunyi bahwa kita tidak boleh menyembah
allah lain selain Tuhan Allah. Sepuluh Perintah Allah ditulis di atas dua loh
batu oleh jari Allah sendiri.
Kepemimpinan yang Alkitabiah
adalah kepemimpinan teokratik di mana sang pemimpin tunduk kepada Allah, sang
Pemimpin Utama. Pemimpin Kristiani bukanlah penguasa atau tuan bagi orang-orang
yang dipimpinnya. Seorang pemimpin Kristiani harus senantiasa menyadari bahwa
ia sedang menjalankan kepemimpin Allah melalui dirinya. Sebagai pemimpin umat,
ia harus senantiasa taat dan tunduk kepada Allah yang merupakan Pemimpin Utama.
Kepemimpinan Alkitabiah tak mengajarkan tentang kepemimpinan yang mandiri atau
“seenak dan semau” sang pemimpin. Seorang pemimpin Kristiani harus senantiasa
sadar bahwa ia ada di bawah kendali Allah yang memilih dan memanggilnya.
Kesadaran ini menolong seorang
pemimpin untuk mempunyai keseimbangan dalam mengenal dan menghargai dirinya.
Seorang pemimpin yang dipilih oleh Allah mempunyai peran khusus dan khas dalam
eranya untuk menjawab kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya. Yang terpenting
bagi seorang pemimpin adalah menjalankan sebaik mungkin peran yang ditetapkan
Allah bagi dirinya, Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa ia dipilih Allah
sebagai pemimpin dalam eranya.
Seorang pemimpin tak
terlepas dari kekurangan dan kelebihan, tetapi ia harus siap juga untuk berkata
bahwa ia telah dipanggil Allah untuk menjalankan peran yang khusus dan menjadi
teladan bagi orang-orang yang dipimpinya. Seperti halnya kepemimpinan Musa
lebih bergantung pada kehendak, rencana dan norma-norma Allah, baiklah
pemimpin-pemimpin Kristen juga tetap mengandalkan kuasa Allah.
VI.
PUSTAKA
Tong. Stephen, Waktu dan
Hikmat, Surabaya, Momentum, 2012
Bitt. Brian, Rewriting
Moses. The Narrative Eclipse of the Text. JSOT Supplement Series 402,
London, T & T Clark International, 2004
W.H, Grispen, Exodus Grand
Rapids, MI Zondervan Publishing House, 1982
Nohrnberg. James, Like Unto
Moses: The Constituting of an Interpretation Indiana Studies in Biblical
Literature; Bloomington: Indiana University Press, 1995
Blackaby. Henry dan
Richard, Kepemimpinan Rohani, Jakarta, Gospel, 2009
Coats. W. George, Moses.
Heroic Man, Man of God. JSOT Sup. Series 57, Sheffield: JSOT Press, 1988
Swindoll. R, Charles, Musa;
pria berdedikasi dan tak mementingkan diri sendiri, Bandung, Cipta Olah
Pustaka, 2002
[2] Brian Bitt, Rewriting
Moses. The Narrative Eclipse of the Text. JSOT Supplement Series 402 (London:
T & T Clark International, 2004).5
[5] Musa adalah “a Hebrew
Egyptian and an Egyptian Hebrew”. Dualitas ini merupakan bagian persiapan Allah
untuk Musa sebagai pemimpin yang membebaskan bangsa Israel dari kekuasaan
bangsa Mesir. Bahkan pelarian di Midian sesudah membunuh orang Mesir harus
dilihat sebagai bagian persiapan Allah bagi Musa (Kel. 2:11-22). (James
Nohrnberg, Like Unto Moses: The Constituting of an Interpretation Indiana
Studies in Biblical Literature; Bloomington: Indiana University Press,
1995).135
[8] Charles. R. Swindoll, Musa;
pria berdedikasi dan tak mementingkan diri sendiri, (Bandung: Cipta Olah
Pustaka, 2002).203
No comments:
Post a Comment