Tuesday 13 November 2012

“PEMAHAMAN TENTANG GEREJA YANG MISIONER DALAM PERWUJUDAN SHALOM BAGI LINGKUNGAN SOSIAL”


“PEMAHAMAN TENTANG GEREJA YANG MISIONER DALAM PERWUJUDAN SHALOM BAGI LINGKUNGAN SOSIAL”
BAB I
PENDAHULUAN

Ramai orang pada hari ini berpendapat bahawa gereja merupakan sebuah bangunan. Ini bukan satu pemahaman yang Alkitabiah tentang gereja. Istilah “gereja” datangnya dari perkataan Yunani ekklesia yang mana definisinya adalah “perkumpulan” atau mereka “yang dipanggil keluar”. Pengertian dasar untuk “gereja” bukanlah bangunan tetapi merujuk kepada orang-orang percaya. Ironis sekali bila orang ditanya tentang gereja mana yang mereka hadiri, mereka sering merujuk kepada suatu bangunan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba untuk memberikan suatu jawaban tentang pertanyaan Gereja, apakah gereja masih relevan dan masih memberikan pengaruh dalam kehadiran ditengah-tengah lingkungan sosial.



BAB II
PEMAHAMAN TENTANG HAKEKAT DAN PENGERTIAN GEREJA DALAM PERJANJIAN LAMA DAN PERJANJIAN BARU

A.    HAKEKAT GEREJA
Banyak orang yang memandang gereja sebagai gedung. Ini bukanlah pengertian Alkitab mengenai gereja. Kata gereja berasal dari kata bahasa Yunani “Ekklesia” yang didefinisikan sebagai “perkumpulan” atau “orang-orang yang dipanggil keluar.” Akar kata dari ”gereja” bukan berhubungan dengan gedung, namun dengan orang. Adalah ironis bahwa saat Anda bertanya kepada orang mereka pergi ke gereja apa, biasanya mereka akan mengatakan Baptis, Metodis, atau denominasi lainnya.
Kata 'Gereja' merupakan kata yang nampaknya mudah tetapi telah banyak disalah mengerti. Jika kita berbicara tentang Gereja, diakui atau tidak, kita mempunyai asosiasi atau imajinasi tentang suatu institusi gerejawi, organisasi, liturgi, teologia dengan main line Calvinis, Lutheran, Baptis dan sebagainya.
Orang Kristen sendiri masih kurang memahami, bahkan salah mengerti tentang hakekat Gereja yang sesungguhnya. Mereka memahami gereja sebagai bangunan atau denominasi (aliran atau organisasi gereja). Pengertian yang demikian adalah salah. Gereja bukanlah bangunan fisik atau gedung; juga bukan sesuatu deenominasi atau organisasi. Gereja dapat dipahami melalui pengertian arti istilah, baik yang digali dari bahasa-bahasa gereja Eropa juga dari Alkitab sendiri, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Memang wajar jika suatu istilah mengalami perkembangan arti (konotasi), namun kedinamisan konotasi tidak boleh menyeleweng dari esensi. Demikian juga dengan Gereja yang telah menempuh perjalanan sejarah selama dua puluh satu abad. Kendatipun secara “historis” (dalam arti sesudah Kristus) dimulai sejak hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2), namun tidak berarti bahwa aset Gereja PB lepas dari PL.

B.     PENGERTIAN GEREJA DALAM PERJANJIAN LAMA
Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah di dalam Perjanjian Lama sudah ada gereja? Jika asumsi kita tentang gereja sebagaimana yang berkembang pada masa kini, barangkali kita akan berkata bahwa di dalam Perjanjian Lama belum ada gereja, sebagaimana pandangan para pemikir modern. Namun di dalam Perjanjian Lama terdapat ada dua istilah, yang menggambarkan tentang umat Tuhan yang menunjuk kepada Gereja, yaitu qahal (atau kahal) yang diturunkan dari akar kata yang sudah tidak dipakai lagi yaitu qal (atau kal), yang artinya “memanggil”; dan ‘edhah yang berasal dari kata ya’adh yang artinya “memilih” atau “menunjuk” atau “bertemu bersama-sama di satu tempat yang ditujuk”.[1] Kedua kata ini kadang-kadang dipakai tanpa dibedakan artinya. ‘Edhah adalah kata yang lebih sering dipakai dalam Keluaran, Imamat, Bilangan dan Yosua, tetapi tidak dijumpai dalam kitab Ulangan, dan jarang dijumpai dalam kitab-kitab selanjutnya dalam Perjanjian Lama. Kata qahal banyak sekali dijumpai dalam Tawarikh, Ezra dan Nehemia.
Istilah qahal biasanya diterjemahkan menjadi jemaat, sedangkan ‘edhah diterjemahkan menjadi umat.[2] Septuaginta, menerjemahkan qahal ini dengan ekklesia. Qahal ini juga digambarkan dengan kemampuan berperang sebagaimana dapat ditemukan dalam kitab Ester 8 : 11, 9:2, 15, 16, 18 dan yang tak asing di dalam kitab Hakim-Hakim. Masih banyak refleksi lainnya dalam ragam penggunaan istilah ini, termasuk dalam pengertian beribadat. Hal ini menunjukkan variabilitas keadaan jemaatNya.

C.    PENGERTIAN GEREJA DALAM PERJANJIAN BARU
Nama Gereja berasal dari kata Yunani kuriakos (arti: kepunyaan Tuhan), yang merupakan asal usul dari kata igreia (Latin), dalam bahasa Inggris church dalam bahasa Jerman kirche, dalam bahasa Swediakyrke, bahasa Slavia cerkov, bahasa Scot kirk; dan bahasa Belanda kerk. Di dalam Perjanjian Baru kata yang dipakai untuk menyatakan pengertian jemaat Tuhan adalah kata yang diambil dari Septuaginta yaitu ekklesia (I Pet. 2:9) diawali dengan preposisi ek yang berarti “keluar dari”, dan kata kaleomenjelaskan mengenai “dipanggil keluar dari kounitas tertentu”, dan kata sunagoge, dari kata sun danago yang berarti “datang atau berkumpul bersama” (Omanson 1984:231)[3]. Istilah ekklesia dalam Perjanjian Baru secara umum juga menunjuk kepada Gereja, walaupun dalam beberapa bagian menunjukkan pertemuan secara umum, Kis 19:32,39,41.[4] biasanya kata ini diapakai dalam konteks pemanggilan penduduk Yunani, keluar dari rumah mereka berkumpul dalam suatu tempat yang sudah ditentukan.
Gereja pada jaman perjanjian ini pada dasarnya satu dengan Gereja dari jaman sebelumnya. Sejauh natur esensialnya terkait, keduanya terdiri dari orang-orang percaya yang benar. Pada zaman Perjanjian Baru, Gereja dipisahkan dari kehidupan nasional bangsa Israel dan menjadi organisasi yang tidak terikat kepada bangsa itu. Dalam hubungannya dengan hal ini, batasan-batasan dari Gereja disingkirkan. Apa yang semula merupakan gereja nasional sekarang memiliki sifat universal, penyembahan ritual pada masa lampau menjadi suatu ibadah yang lebih bersifat spritual yang selaras dengan maksud-maksud yang lebih dalam dari Perjanjian Baru.
Dalam Septuaginta “jemaat” diterjemahkan sebagai ekklesia. Suatu istilah yang sudah umum dalam konteks Yunani yaitu sidang parlemen atau sidang rakyat, yang biasanya diadakan di Athena pada hari-hari besar, dan dihadiri oleh para wakil rakyat dan penduduk segenap negeri.[5]



BAB III
GEREJA YANG MISIONER DALAM PERWUJUDAN SHALOM BAGI LINGKUNGAN SOSIAL


1. Pengertian Jemaat Misioner
A. Misioner artinya bersifat misi
B. Misi adalah:
ü  Perutusan yang dikirimkan oleh suatu negara ke negara lain untuk melakukan suatu tugas khusus di bidang ddiplomatik, politik, perdagangan, kesenian dan lain-lain.
ü  Kegiatan menyebarkan kabar gembira atau Injil dan mendirikan jemaat-jemaat setempat, yang dilakukan atas dasar pengutusan sebagai kelanjutan misi Kristus.
ü  Tugas yang dirasakan orang sebagai suatu kewajiban untuk melakukannya demi agama, ideologi, patriotisme dan lain-lain.

C. Jadi Jemaat misioner adalah jemaat yang sadar akan kewajibannya yang harus dilakukan     kepada Yesus, GerejaNya dan dunia.
Jemaat yang misioner bukanlah superboy atau superman, bukanlah jemaat yang serba bisa, manusia setengah dewa yang mahir dalam segala bidang. Jemaat yang misioner ialah ketika menemukan rancangan Tuhan bagi dirinya, kemudian menjalani kehidupannya sesuai dengan rancangan itu.  Dengan kata lain, tampil sebagai jemaat yang mendayagunakan potensi yang Tuhan karuniakan kepadanya, baik bakat maupun karunia roh.  Jadi jemaat yang misioner adalah jemaat yang menganut pepatah ”The right man on the right place”.  Ia adalah orang tepat di tempat yang tepat.[6]
Persoalannya ialah banyak orang yang tidak menerima dirinya sendiri, ia maunya seperti orang lain. Tentu ia akan gagal dalam bersaing di bidang keunggulan orang lain. Tuhan tidak menghendaki kita demikian.  Justru karena itu Tuhan memberikan bakat dan karunia yang berbedda-beda kita agar kita melakonkan peran yang dirancang oleh Tuhan kepada kita, itu pulalah yang akan diperttanggungjawabkan kelak.

Adapun ciri-ciri Jemaat misioner seperti yang terkandung dalam visi dan misi Gereja KIBAID adalah: menghormati otoritas Alkitab, haus dan llapar akan Firman Allah, kehidupan doa yang konsisten, setia dallam ibadah, kuat dalam persekutuan, sehat dalam kehidupan kelaurga, pengelola yang bertanggung jawab, mempraktekkan karunia rohani, memiliki kesaksian yang baik, penginjilan yang berkesinambunagan, pemuridan yang teratur dan terbuka pada perubahan.

2. Praksis Menjadi Garam dan Terang Dunia
Sesungguhnya semua pekerjaan mengandung nilai-nilai intrinsik luhur, yang secara langsung dan tak-langsung mempunyai relasi dengan panggilan Tuhan. Namun hal itu seringkali terlupakan sehingga mengerdilkan makna profesi dan pekerjaan. Jika pengajaran model ini diperkembangkan maka wargagereja akan menemukan kembali pintu masuk ke dalam pekerjaan sehari-hari yang pada dasarnya bertujuan memuliakan Tuhan di sepanjang kehidupannya. Sekaligus dengan itu mereka juga berfungsi menjadi wargabangsa yang memberi kontribusi.[7]
            Mungkin beberapa contoh lain dapat dikemukakan secara baru.Yesus berkata, “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ....” (Mat. 25:35-36). Semua kegiatan ini dilakukan oleh hamba-hamba Tuhan bukan langsung kepada Tuhan (yang tidak kelihatan), melainkan kepada sesama manusia (yang kelihatan) yang membutuhkannya. Epistel juga menegaskan kebenaran analogi itu, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kol. 3:23). Nilai tindakan kepada sesama itu sama nilainya dengan nilai tindakan bagi Tuhan. Secara tradisional Firman ini diartikan sebagai tindakan kebajikan karitatif, tapi dengan mata iman dan penghayatan yang baru orang dapat melihat amanat ini mencahayai pekerjaan mereka.

•    Siapa yang memberi makan kepada orang yang lapar?
Jawabnya: semua orang yang memproduksi, menyediakan, mengolah, mempersiapkan, menyajikan makanan. Hal mana berlaku mulai dari ibu rumahtangga yang memasak bagi keluarga, sampai industri bahan makanan, industri tataboga dan kuliner, restoran, warung makan, café. Jika mereka tidak bekerja, orang akan lapar.
•    Siapa yang memberi minum kepada orang yang haus?
Jawabnya: semua orang yang menyajikan teh bagi tamu di rumah mereka, dan berlaku sampai ke tukang es kakilima dan industri minuman nasional dan global. Jika mereka tidak bekerja, orang akan haus.
•    Siapa yang memberi tumpangan kepada orang lain?
Jawabnya: semua orang yang menerima kerabat dan sahabat menginap, dan berlaku mulai dari relawan yang menyiapkan tenda bagi para pengungsi dan usaha kos-kosan lokal sampai ke industri perhotelan internasional. Jika mereka tidak bekerja, orang akan kehilangan tumpangan.
•    Siapa yang memberi pakaian kepada orang telanjang?
Jawabnya: semua orang yang mendisain, membuat dan memproduksi bahan dan pakaian sampai ke industri dan retail garmen dan fashion. Jika mereka tidak bekerja, orang akan telanjang.

3. Misi gereja peka terhadap permasalahan social masyarakat
Dari action Yesus tsb, maka gereja yang missioner diartikan gereja yang melayani dan ikut peka dalam permasalahan social umat atau bangsa. Sehingga keberadaan Gereja tidak dapat dilepaskan dan karya Allah dalam Yesus Kristus. Allah yang mengutus umatNya (Gereja) adalah Allah yang menyatakan tanda-tanda keselamatan dan perdamaian demi kasihNya bagi manusia dan dunia ini. Kehadiran Gereja di dunia bukanlah suatu kebetulan, tetapi rencana Allah, agar melalui Gereja (persekutuan umat), Tuhan yang mengasihi dunia dinampakkan/dinyatakan kemuliaanNya (Yohanes.17:21 – 23). Gereja bersama yang lain, berpartisipasi, peduli dan mampu bertindak untuk kepentingan masyarakat disekitarnya tanpa membedakan suku, agama, dan ras. Dalam kaitan dengan tugas ini, gereja terpanggil untuk menyatakan: tugas bersaksi dan memberitakan injil /kabar kesukaan dan Damai Sejahtera adalah tugas gereja sebagai bagian dari gereja yang Kudus, Am dan Rasuli ditengah dan didalam konteks masyarakat pluralistik (majemuk).

4. Misi gereja memberdayakan warga
Gereja yang misioner akan tercipta melalui peran aktif setiap anggota gereja, memotivasi jemaat untuk terlibat secara aktif dalam pekerjaan Tuhan yang besar di dunia ini melalui misi menampilkan kekokohan dan kebanggaan iman dalam hidup dan karya bersama di tengah masyarakat. Pemberdayaan yang dimaksudkan adalah dengan memberi kepercayaan kepada warga, menhembangkan prakarsa, meningkatkan keahlian (kompetensi), menggerakkan potensi, dan mengorganisasikan sumberdaya yang ada, pemberdayaan dan transformasi warga jemaat ditandai dengan, peningkatan peran serta dan ruang gerak warga jemaat dalam berbagai pelayanan, identifikasi dan pengembangan talenta dan potensi warga dan pelayan. Secara profetis, proaktif, sehat dan produktif mengembangkan terus hubungan dengan semua pihak sampai pada tingkat basis dan menyambut secara aktif usaha dari pihak lain untuk menjalin hubungan yang baik. Itu sebabnya tugas kesaksian (marturia) tidak hanya ditujukan kepada manusia melainkan untuk semua ciptaan (Mark.16:15), yaitu menyangkut hubungan dengan sesama manusia dan lingkungan hidup.  

BAB IV
KESIMPULAN


            Menjadi jemaat yang misioner dapat dilakukan dengan memandangnya secara institusional, gereja menuangkan dan melaksanakannya dalam program-program. Namun lebih penting lagi, demi daya jangkaunya ke segenap aspek kehidupan dunia, adalah dengan memandangnya secara individual orang percaya, mereka menuangkan dan melaksanakannya dalam program-program hidup dan kerja mereka. Kontribusi signifikan yang diberikan setiap orang Kristiani akan membuka jalan untuk pemberitaan tentang keselematan dan kasih-setia Kristus kepada setiap orang, lebih-lebih bagi mereka yang mau merespon-Nya. Jika kondisi itu tercapai, maka jemaat akan menjadi Jemaat Misioner yang menjangkau lebih banyak orang sampai ke ujung bumi. “supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Flp. 2:10-11).





DAFTAR PUSTAKA



[1] Edmund P.Clowney, The Church ,Leicester: Inter Varsity Press, 1995
[2] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3: Eklesiologi, Eskatologi, Etika, BPK Gunung Mulia,Jakarta, 2006
[3] I. Howard Marshall, The Tyndale New Testament Commentary,The Acts of the Apostles, Michigan: Williams B. Eerdmans Publishing Company, 1980
[4] Lotnatigor Sihombing, Kultus dan KulturSekolah Tinggi Theologia I-3, Batu, 1997
[5] Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Gereja ,Lembaga Reformed Injili Indonesia, Momentum, Surabaya, 1997

[6] gerejakibaidjayapura.blogspot.com/.../peran-jemaat-misioner-dalam-..
[7] gkiperniagaan.org/index.php?option=com_content...article.

No comments:

Post a Comment

Update Terbaru