Wednesday 14 November 2018

MAKALAH: PENGERTIAN TEOLOGI DAN LATAR BELAKANG TEOLOGI KRISTEN

HAKEKAT TEOLOGIA

A.  Definisi Teologi
Seorang teolog orthodox dari Princeton, teologi adalah “Ilmu yang membicarakan tentang Allah dan alam semesta”. Dengan penegasan bahwa teologi bahwa teologi adalah suatu ilmu, ia hendak menekankan fakta bahwa Allah itu ada, dan bahwa Allah yang berada itu berhubungan dengan ciptaan-Nya. Sebab seandainya tidak ada Allah yang berada itu tidak berhubungan dengan ciptaan-Nya, teologia juga tidak pernah ada.[1] Sedangkan Shedd, “Teologi adalah suatu ilmu yang berhubungan dengan yang tak terbatas dan yang terbatas, dengan Allah dan alam semesta”.[2] Dengan pengertian ini, selain manusia dan alam yang menjadi objek penelitian, teologi terutama berupaya mengetahui tentang Allah.
Berbeda dengan pemahan kaum Liberal, teologi adalah “interpretasi metodikal dari materi pokok iman Kristen. Dengan pengertian ini, Tilich menganggap istilah “Allah” tidaklah terlalu penting karena “Allah” adalah sebuah symbol yang diperoleh dari kesadaran religious. “Allah” bukan sesosok Pribadi Yang Ada; Ia adalah Yang Ada itu sendiri (being itself, not a being). Jadi, “Allah” itu melingkupi segala sesuatu dan Ia berada di dalam segala sesuatu. Karena “Allah” melampui dan di luar dari esensi dan eksistensi, maka segala usaha untuk membuktikan eksistensi”Allah” tidak dapat diterima. Bagi Tilich, masalah eksistensi “Allah” tidak dapat dipertanyakan atau dijawab. Oleh sebab itulah, bagi Tilich hanya ada satu titik mula berteologia yang sah, yakni dimulai dari manusia dan pengalaman manusia atas realita.[3]
Defenisi dari pemahaman Liberal mengandung kelemahan, karena dengan demikian teologia menjadi independen atau tercerai dari Alkitab. Teologi seharusnya berkenaan dengan Allah dan ciptaan-Nya seperti yang dimengerti dari Akitab. Sebab itu, definisi teologi yang benar adalah sebagai berikut: teologi adalah pengetahuan yang sistematis tentang Allah dan hubungannya dengan ciptaan-Nya seperti yang dipaparkan dalam Alkitab. Teologi Kristen bukan hanya melulu mendalami Alitab, tetapi juga bertanggung jawab untuk mendalami dan mengerti setiap bagian penerapannya, serta mengerti cara-cara pelaksanaan supaya penerapan tersebut dapat terjadi.

B.   Sumber-sumber Teologi
Teologi yang sehat pertama-tama sekali harus mengacu pada Alkitab sebagai sumber untuk mendapatkan “bahan mentahnya”. Singkatnya, dalam berteologi, Alkitab merupakan suatu keharusan untuk diteliti, tetapi bukan merupakan “barang” yang sudah jadi. Apabila dikatakan bahwa Alkitab merupakan keharusan, itu berarti bahwa apa yang dikatakan oleh seseorang tentang Allah dan menusia dalam berteologi haruslah sinkron dengan ajaran Alkitab.
Sumber teologi selanjutnya adalah melihat kepada semua “barang” yang sudah jadi, misalnya dengan mempelajari apa yang sudah dihasilkan di dalam teologi biblika, teologi historika, dan teologi filosofika. Teologi biblika adalah menelusuri perkembangan suatu tema tertentu (misalnya, perjanjian) akan menyajikan meteri yang luas dari Alkitab secara progresif.[4] Teologi historika adalah memberikan kontribusi dengan memperlihatkan berbagai cara penafsiran Alkitab yang pernah dilakukan gereja atau teolog di masa yang lampau. Sedangkan, teologi filosofika adalah membantu untuk merelevankan pemikiran teologis dengan cara kritis memaparkan isi teologi kepada dunia kontemporer.
Selain itu, tradisi gereja dapat menjadi sember teologi (pengajaran atau kebiasaan tertentu). Yang dimaksud dengan tradisi adalah penafsiran yang otoritatif tentang suatu bagian Alkitab yang diwariskan turun-temurun. Namun tradisi juga mengandung bahaya, yaitu apabila penafsiran Alkitab itu melampaui apa yang diajarkan Alkitab, dan sering tradisi juga dapat dijunjung tinggi melebihi wibawa Alkitab. Adalah tugas teologi untuk mempertimbangkan tradisi di bawah terang firman Tuhan dan mengembangkannya sesuai dengan suasana tiap zaman.

C.   Pentingnya teologi yang bersistem  
Seseorang tidak dapat mengenal wahyu Allah seutuhnya seperti yang dinyatakan di dalam Alkitab, apabila keseluruhan isi Alkitab itu tidak dipelajari sebagai suatu system secara keseluruhan. Mengetahui wahyu tersebut sebagian atau beberapa bagian saja tanpa membawa bagian-bagian tersebut ke dalam relasi dengan bagian totalitasnya, tidak menjamin bahwa wahyu itu akan dikenal seutuhnya. Jadi, dengan pikiran yang dikaruniai Allah, orang Kristen harus berpikir secara sistematis, dan menjabarkan isi wahyu Allah itu secara sistematis pula.[5]
Karl Barth berpendapat bahwa dengan pemakaian istilah sistem di dalam teologia, manusia sebetulnya mengabaikan fakta bahwa pikiran konseptual dan bahasa manusia itu sebenarnya terbatas. Dari satu segi boleh dikatakan bahwa setiap pengertian manusia tentang kebenaran Allah itu bersyarat. Teologi harus berada di bawah “penghakiman” Alkitab serta harus terbuka untuk berkembang melihat situasi konteks di mana teologia itu diajarkan. Untuk memahami komunikasi yang berarti dari Allah, manusia perlu mempergunakan rasionalitasnya dalam batas-batas tertentu. Yang dimaksud di sini adalah bahwa teologi itu rasional.[6]
Tambahan lagi, dunia sekarang ini membutuhkan kebenaran untuk menjawab segala permasalahan yang melanda kehidupan. Teologi wajib membawa kebenaran Allah ke dalam dunia dan teologi dengan sendirinya akan mempengaruhi pola kehidupan manusia karena pikiran atau ide itu akan mempengaruhi kehidupan. Kekristenan perlu memikirkan bagaimana menyajikan kebenaran kepada dunia dalam perbuatan atau praktek yang nyata.




[1] Menurut B.B. Warfield pada tahun 1851-1921 dari Princeton.
[2] Defenisi menurut W.G.T. Sheddguru besar teologi sistematika di Union Theological Seminary antara 1874-1890.
[3] Definisi teologi menurut Paul Tilich tahun 1886-1965, teologi liberal.
[4]Gerarhd. F. Hassel, Teologi Perjnjian Lama, (Malang: Penerbit gadum Mas, 1992), hlm.113-127.
[5]B.B. warfield, teologi sistematik, (malang: Gandum Mas, 1984), hlm. 83.
[6] Penegasan oleh B.B Warfield, “The Task and Method of Sistematyc Theology”, Studies in Theologiy, 95.

No comments:

Post a Comment

Update Terbaru