Kata teologi berasal dari bahasa Yunani Theology (theos = allah + logia = perkataan). Jadi theology adalah bidang ilmu yang mempelajari iman, tindakan dan pengalaman agama; khusus tentang hubungan Allah dengan dunia atau dogmatik. Sedangkan kata kepemimpinan sebagai ”perihal memimpin”. Dalam bahasa Inggris menyebut dengan kata ”leadership” yang artinya pimpinan atau memimpin. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Teologi Kepemimpinan adalah bidang ilmu yang mempelajari tentang hubungan manusia dengan Allah dalam proses kepemimpinan dimana Allah sebagai Pemimpin Agung memimpin manusia dan mempercayakan kepemimpinan terhadap manusia yang di pilih-Nya.
II. Profil Teologi Kepemimpinan
Studi Teologi Kepemimpinan merupakan studi mengenai ilmu-ilmu kepemimpinan, dalam hal ini kepemimpinan Kristen, yang didukung dengan pengenalan mendalam mengenai persoalan-persoalan filosofis. Karena keterkaitan yang sangat erat antara aspek teologi kepemimpinan, pengetahuan yang diberikan tidak hanya dititikberatkan pada ilmu teoritis semata, tapi juga diberikan dan ditekankan pada pengetahuan lain yang mempunyai dampak – baik secara langsung maupun tidak – pada penyelesaian masalah (problem solving) yang tengah dihadapi bangsa dan masyarakat sekarang ini, baik sosial, budaya, politik, disintegrasi, moral, kepercayaan, lingkungan, kepemimpinan itu sendiri dan lain-lain.
Figur – 1
Profil Teologi Kepemimpinan
sosial
budaya
politik
disintegrasi
moral
kepercayaan
lingkungan
kepemimpinan
Profil
Teologi
kepemimpinan
III. Motivasi Teologi Kepemimpinan
Figur – 2
Motivasi Teologi Kepemimpinan
GOD-ORIENTED
OTHER-ORIENTED
Apakah ”Motivasi Teologi Kepemimpinan”? Apakah agar Pemimpin bisa bergaya, pamer kekuasaan serta unjuk kekuatan? Apakah untuk menunjukkan atau membuktikan ”Who’s the Boss?” - siapa ”boss”, siapa ”jongos”? Sama sekali tidak! ”Motivasi Teologi Kepempimpinan” adalah untuk menyatakan ketaatan kepada Allah. Untuk mengemban dan melaksanakan kehendak Allah. Untuk mencerminkan kepemimpinan dan otoritas Allah. Yesus pernah bersabda ”Makanan-Ku,” ”ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku, dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” (Yohanes 4:34). ”Bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu jadilah” Sebab itu kita dapat mengatakan, bahwa ”Motivasi Teologi Kepemimpinan” bersifat ”GOD-ORIENTED”. Artinya: tertuju, terarah, serta terfokus kepada Allah. Dan karena ”God-Oriented” inilah, maka - sebagai implikasinya - ”Motivasi Teologi Kepemimpinan” juga bersifat ”OTHERS-ORIENTED”. Artinya: tertuju, terarah, terfokus kepada orang lain. Mengapa? Sebab seluruh dunia dan segenap umat manusia itulah, orientasi kasih Allah (Yohanes 3:16). Akan tetapi ”Motivasi Teologi Kepemimpinan” bukan bersifat ”SELF-ORIENTED”, tertuju hanya kepada kepentingan diri. ”Milikmu milikku, tapi milikku milikku”. Maksudnya suatu ”motivasi kepemimpinan” yang berkarakter atau bersifat merampas, memeras, menebas, menggilas. Hal itu sangat berbahaya.
IV. Falsafah Teologi Kepemimpinan
Apakah “Falsafah Teologi Kepemimpinan? Yesus pernah bersabda IKUTLAH AKU” dan “PERGILAH KAMU”. “IKUTLAH AKU” adalah sapaaan, undangan dan tantangan pertama yang Yesus perhadapkan kepada murid-muridNya dan merupakan pola relasi yang ingin Yesus jalin dengan murid-muridNya. ”Ikutlah Aku” adalah karakteristik, identitas, sebutan setiap murid Yesus atau ”Kristen”. Tapi mengapa ”mengikut”? Mengapa bukan ”menganut”? Sebab yang Yesus kehendaki dari kita / pemimpin, bukanlah sekadar ”menganut” agama tertentu, tetapi belajar dari Yesus dan mengikuti teladan-Nya. Apa yang dimaksudkan dengan ”PERGILAH KAMU”. Hal ini berarti tidak hanya menggerakan orang ke dalam menjadi ”introvert” dan ”egois” tetapi juga memotivasi orang ke luar menjadi ”ekstrovert” dan ”misioner”. Dengan perkataan lain tidak hanya mementingkan kepentingan ke dalam, namun juga mementingkan kepentingan ke luar.
Dengan demikian diharapkan program studi Teologi Kepemimpinan tidak mengedepankan pada hal-hal yang sifatnya superficial (hanya pada permukaan) dan simplistis (sederhana), tapi juga pada pendalaman kajian yang bersifat komprehensif dan menyentuh permasalahan.
Figur – 3
Falsafah Teologi Kepemimpinan
Falsafah
Teologi Kepemimpinan
Pergilah Kamu
Ikutlah Aku
V. Kaitan Teologi Kepemimpinan dan Perkembangan Globalisasi
Figur – 4
Teologi Kepemimpinan & Perkembangan Globalisasi
Bidang Ekonomi
Bidang Telekomunikasi
Kewanitaan
Budaya
Agama
Individu
Politik
Bidang Ekonomi
Sisi Positif
Kesejahteraan meningkat, dapat dilihat dari jumlah orang yang lebih banyak
memiliki handphone. Hal ini ditunjang dengan tarif terjangkau dan harga handphone yang semakin murah & variatif.
Sisi Negatif
Mengingat persaingan semakin ketat dan sulitnya merebut posisi market leader, maka tidak menutup kemungkinan perang tarif akan terus berlangsung terutama lewat iklan (berlanjut ke perang iklan).
Hal utama yang berdampak kepada masyarakat yakni menjadi “korban” iklan.
Bidang Telekomunikasi
Sisi Positif
Masyarakat tidak perlu lagi merasa khawatir jika harus berbicara lama-lama
di telepon (gaya komunikasi yang baru).
Sisi Negatif
Masyarakat justru menjadi bingung karena dihadapkan dengan beragamnya pilihan handphone dan kartu selular, sehingga tidak sedikit orang yang terjebak menggunakan handphone dan nomor lebih dari satu.
Bidang Budaya
Sisi Positif
Mendorong budaya tanding di masyarakat
Sisi Negatif
Mendorong sikap pesimis yang dapat berubah menjadi pragmatis
Bidang Kewanitaan
Sisi Positif
Munculnya wanita-wanita karir dengan menduduki manajemen puncak
Sisi Negatif
Dapat mengakibatkan hilangnya sifat feminine
Bidang Agama
Sisi Positif
Orang berlomba-lomba mencari cara untuk
beribadah kepada Penciptanya
Sisi Negatif
Munculnya agama atau ajaran baru tanpa pemahaman yang benar
Bidang Individu
Sisi Positif
Aktif dan proaktif dalam pekerjaan, karir dan usaha
Sisi Negatif
Cenderung mementingkan diri sendiri
Bidang Politik
Sisi Positif
Munculnya banyak partai
Sisi Negatif
Banyak orang terlibnat berpolitik tanpa pemahaman yang benar
VI. Tujuan Teologi Kepemimpinan
Tujuan program teologi kepemimpinan ialah mempelajari ilmu kepemimpinan secara kritis dan apresiasif (kesadaran terhadap nilai-nilai dan seni) sebagai sumbangan bagi terwujudnya masyarakat yang adil, demokratis dengan memiliki nilai-nilai kerohanian dan kemanusiaan, juga pengembangan wawasan berpikir keKristenan yang modern, terbuka dan inklusif, selain mengembangkan kesadaran berpikir social yang kritis, sehingga dapat menyumbangkan gagasan dalam cita-cita besar bangsa, yakni mewujudkan masyarakat yang berperadaban dan berkeadaban. Juga diharapkan menghasilkan mahasiswa dan lulusan serta pemimpin yang memiliki ketajaman nalar dan analisa, berakhlak mulia, memiliki wawasan luas dan kepekaan nurani, serta kemandirian dalam bersikap dan berpendapat. Dengan nilai kepribadian: Adil, demokratis, nilai kerohanian, nilai kemanusiaan, berpikir kekristenan, modern dan inklusif, berpikir social, kritis.
Figur – 4
Tujuan Teologi Kepemimpinan
1. Panggilan Sebagai Pemimpin
Kepemimpinan Kristen didasarkan atas premis utama, yakni bahwa Allah, oleh kehendak-Nya yang berdaulat, menetapkan serta memilih setiap pribadi dalam lingkup dan konteks pelayanan menjadi pemimpin Kristen. Pemimpin yang dipanggil oleh Allah ini adalah untuk pelayanan memimpin. Premis ini ditegaskan oleh Profesor Dr. J. Robert Clinton yang mengatakan, Pemimpin Kristen adalah seseorang yang telah dipanggil Allah sebagai PEMIMPIN yang ditandai oleh adanya:
(1) Kapasitas memimpin dan (2) Tanggung jawab pemberian Allah UNTUK
(3) Memimpin suatu kelompok umat Allah AGAR
(4) Mencapai tujuan ALLAH bagi, serta melalui kelompok ini" Dari penegasan Profesor Clinton ini dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin Kristen ada sebagai pemimpin karena ia dipanggil oleh Allah. Dengan demikian, ia harus memiliki kesadaran diri sebagai pribadi yang dipanggil Allah dan meneguhkan kualifikasi dirinya sebagai pemimpin. Sikap ini perlu dipertegas dengan memperhatikan bahwa seorang pemimpin Kristen adalah seorang individu yang telah ditebus Allah, yang olehnya ia harus yakin bahwa ia dipanggil Allah untuk memangku tanggung jawab kepemimpinan. Kebenaran ini pada sisi lain, menegaskan bahwa Allah telah mengaruniakan kepadanya kapasitas teguh untuk memimpin, sehingga ia dapat membuktikan diri sebagai pemimpin sejati (Kejadian 12:1-3; Keluaran 2-7; dan 18, Roma 12:8, dsb.).
2. Dasar Alkitab Teologi Kepemimpinan
Dasar Alkitab Teologi Kepemimpinan, yang perlu dipahami dan harus ada pada seorang pemimpinan ialah:
(1) Pemimpin Kristen harus memahami dasar Alkitab teologi kepemimpinan bahwa ia terpanggil sebagai "pelayan-hamba" (Makus 10:42-45). Sebagai pelayan, pemimpin terpanggil kepada tugas yang olehnya ia menjadi pemimpin. Sebagai hamba, ia terpanggil dengan status menghamba kepada TUHAN, yang harus diwujudkan dalam sikap, sifat, kata, dan perbuatan.
(2) Pemimpin Kristen harus memiliki motif dasar Alkitab teologi kepemimpinan yakni;
Pertama: "membina hubungan" dengan orang yang dipimpinnya dan orang lain pada umumnya (Markus 3:13-19; Matius 10:1-4; Lukas 6:12-16). Dalam kaitan ini, perlu disadari bahwa kadar hubunganlah yang menentukan keberhasilan seseorang sebagai pemimpin. Kedua: "mengutamakan pengabdian" (Lukas 17:7-10). Mengutamakan pengabdian menekankan bahwa "kerja" adalah fokus, prioritas, sikap serta tekanan utama, sehingga ia akan mengabdikan diri untuk melakonkan tugas kepemimpinan dengan sungguh-sungguh.
(3) Pemimpin Kristen harus memahami proses dasar teologi kepemimpinan serta memiliki ketrampilan memimpin, yakni:
Pertama: Ia harus mengetahui tujuan (tujuan Allah, tujuan organisasi, tujuan operasi kerja) dari institusi/organisasi yang dipimpinnya. Kedua: Ia perlu mengenal tanggung jawab serta tugas yang dipercayakan kepadanya. Ia harus memahami dan mengenal fungsi pengelolaan kerja (manajemen) - (Lukas 14:28-30). Ketiga, Ia harus berupaya mengenal setiap orang yang dipimpinnya untuk mempermudah penggalangan serta pembinaan hubungan antara pemimpin-bawahan, sebagai dasar untuk melaksanakan kinerja kepemimpinan yang berkualitas. Kondisi hubungan baik antara pemimpin dengan para bawahan sangat menentukan pelaksanaan kerja yang dapat dilakukan dengan baik pula. Keempat, Ia harus mengerti dengan baik bagaimana caranya mencipta hubungan, kondisi yang kondusif, serta pemenuhan kebutuhan dari bawahannya dalam upaya memperlancar kinerja kepemimpinan.
3. Dasar Etika-Moral Teologi Kepemimpinan
Teologi Kepemimpinan memiliki dasar etika-moral yang Alkitabiah. Dalam kepemimpinan Kristen, presuposisi dasar etika-moral dilandaskan atas fakta dan dinamika "inkarnasi" Yesus Kristus (Yohanes 1:1-14, 18; Filipi 2:1-11). Konsep inkarnasi dalam kepemimpinan Kristen yang dibangun di atas fakta "inkarnasi Yesus Kristus" yang memiliki kisi kebenaran berikut:
(1) Dasar perilaku etika-moral kepemimpinan Kristen adalah pribadi Yesus Kristus, termasuk: kehidupan, karya, ajaran dan perilaku-Nya, di mana seluruh kerangka kepemimpinan Kristen dibangun di atas dasar ini (I Yohanes 2:6).
(2) Orientasi dan pendekatan etika-moral teologi kepemimpinan bersifat partisipatif yang berlaku dalam penerapan kepemimpinan Kristen pada segala bidang hidup (Lukas 4:18-19).
(3. Dinamika etika-moral teologi kepemimpinan terwujud oleh adanya transformasi hidup (individu/ masyarakat) yang dibuktikan dengan pertobatan/pembaharuan/pemulihan hidup dan semangat kerja (individu/korporasi; banding: Roma 12:1-2, 8, 9-21).
(4) Perwujudan dasar etik-moral teologi kepemimpinan haruslah dinyatakan dalam sikap hati, kata dan perbuatan serta bakti setiap pemimpin Kristen secara nyata dalam bidang hidup berikut: Pertama, Pemimpin Kristen harus membuktikan diri sebagai pemimpin bertanggung jawab (Ibrani 13:17). Kedua, Pemimpin Kristen harus menemukan diri sebagai pemimpin yang bertumbuh (Kolose 2:6-7; 3:5-17). Ketiga, Pemimpin Kristen harus menjadi pemimpin model dalam keteladanan hidup dan kinerja (Ibrani 13:7- 8). Keempat, Pemimpin Kristen harus memiliki: motivasi dasar Pelayan-Hamba (Markus 10:42-45), yang senantiasa menyadari akan status dan perannya sebagai pemimpin. Motivasi dasar seseorang pemimpin seperti ini akan sangat menentukan sikap, perilaku, kata dan tindakan dari orang tersebut, baik terhadap diri, orang lain maupun pekerjaan. Karena itu, seorang pemimpin Kristen perlu memastikan apakah ia memiliki dasar etika-moral, orientasi dan motivasi yang sesuai dengan Firman Allah.
Dengan demikian dasar etika-moral teologi kepemimpinan memiliki faktor-faktor dan matra- matra dasar kepemimpinan yang sama dengan kepemimpinan umum lainnya. Pada sisi lain kenyataan yang membedakan antara teologi kepemimpinan Kristen dan teologi kepemimpinan lainnya ialah hakikat, dinamika, serta falsafah yang didasarkan pada Alkitab.
Indikator penting bahwa seseorang dipanggil Allah kepada tugas kepemimpinan ialah bahwa ia memiliki kapasitas lengkap sebagai pemimpin, dan ada tanggung jawab yang diuntukkan baginya guna menjalankan upaya memimpin.
Pada pihak lain teologi kepemimpinan meletakkan kedudukan pemimpin Kristen secara proporsional, di mana "pemimpin Kristen adalah pemimpin yang berkarakter tinggi, berpengetahuan komprehensif, berkecakapan sosial dan teknis yang andal.
Teknia Yang Handal
Berkecakapan Sosial
Berpengetahuan Koprehenship
Berkarakter Tinggi
Pemimpin Kristen
Pemimpin Kristen seperti ini akan terbukti sebagai pemimpin dengan ciri-ciri "efektivitas tinggi, efisiensi tinggi, dan hubungan sehat yang tinggi" - sehingga dapat mewujudkan kinerja optimal dengan produk unggul dalam kepemimpinan yang diembannya. Ciri-ciri ini akan selalu terlihat dengan adanya kisi- kisi berikut:
(1) Pemimpin mengabdi dengan komitmen yang tinggi kepada Allah, kepada organisasi dan kepada tugas (misi Allah).
(2) Pemimpin memiliki dan mempertahankan nilai efektivitas tinggi yang ditandai oleh sifat dan sikap pemimpin dengan gaya kepemimpinan berikut:
(a) Ia adalah pemimpin teladan-bertanggung jawab.
(b) Ia adalah pemimpin inspirator-komunikator.
(c) Ia adalah pemimpin pemersatu-dengan kerja sama yang tinggi.
(d) Ia adalah pemimpin pekerja-motivator ulung.
(e) Ia adalah pemimpin berwibawa-otokrator bijak.
(f) Ia adalah pemimpin strategos-terfokus yang selalu tepat arah dan pencapaian.
(g) Ia adalah pemimpin peduli-terpadu yang memiliki kepedulian tinggi atas kesejahteraan semua pihak dalam kepemimpinannya.
Ciri khas pemimpin Kristen seperti inilah yang menempatkan kepemimpinan Kristen sebagai unik, dengan hakikat, dinamika, serta falsafah penuntunnya yang khas. Hal mana akan mewarnai "leader behavior, leadership style, dan leadership performance" - yang membawa "summum bonum" (kebaikan tertinggi) bagi diri (sebagai pemimpin), bawahan (orang yang dipimpin), organisasi dan masyarakat (lingkungan) di mana kepemimpinannya diaktualisasikan secara optimal.
VIII. Tipologi Teologi Kepemimpinan
Tipologi teologi kepemimpinan Kristen berdasarkan model kepemimpinan kepemimpinan Yesus Kristus, yakni:
1. 1. Gaya Kepemimpinan Yesus Adalah Kepemimpinan Hamba
Yesus sebagai pemimpin hamba bertugas sebagai penggerak segala potensi yang ada agar tercapai pengembangan dan perkembangan.
1.1 Pengertian Hamba
Istilah populer yang sering disebut-sebut dalam konteks kepemimpinan hamba maupun dalam kalangan Kristen, yakni hamba TUHAN seringkali disalahartikan. Hal itu terjadi karena hakekat pemahaman dan bentuk pemahaman bertentangan. Sehinggga istilah hamba Tuhan menjadi suatu Honoris Causa (gelar kehormatan) saja bagi kepemimpinan Kristen oleh masyarakat gereja. Istilah hamba TUHAN dalam dunia perjanjian lama memiliki beberapa pengertian dan penggunaannya sebagai berikut:
Kata Ibrani “eved, budak, hamba, pelayan. Seorang bekerja untuk keperluan orang lain (G. A. Smith). Ia pekerja yang menjadi milik tuannya (Zimmerli). Di luar Alkitab kata itu berarti budak; hamba yang melayani raja; bawahan dalam politik keterangan tentang diri sendiri untuk menunjukkan kerendahan hati; dan hamba-hamba dalam kuil-kuil kafir (Zimmerli).
Pengertian hamba Tuhan telah dijelaskan Tuhan Yesus melalui hidup, karya dan kepemimpinan-Nya selama berada di dunia secara nyata. Oleh karena itu, hakekat diri dan kenyataan hamba Tuhan telah digenapi dalam hidup dan kerja Tuhan Yesus, baik didalam kesengsaraan-Nya maupun dalam kemuliaan-Nya. Maksud dan pengertian kepemimpinan hamba (hamba Tuhan), dijelaskan Tuhan Yesus dalam Matius 20:27, sebagai berikut “Dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka diantara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu”. Maksud Yesus dengan pernyataan ini adalah semakin seseorang diberikan kedudukan atau jabatan dalam kepemimpinan semakin ia memimpin dalam kehambaan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pemimpin hamba adalah mereka yang memperhambakan diri dalam kepemimpinannya. Sehubungan dengan hal itu maka Yesus menjelaskan: Demikianlah juga kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan (Lukas 17:10).
Oleh karena itu, dari pernyataan di atas, maka dapat dikatakan, pemimpin hamba adalah hamba dari pengikutnya. Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa tentang kepemimpinan hamba (Servantship), bersifat horizontal dan vertikal. Secara panggilan pemimpin kristen adalah hamba Tuhan, tetapi secara kepemimpinan ia adalah hamba jemaat (dalam tugas).
Pemimpin gereja kehambaan harus melakukan kepemimpinannya dalam sikap merasa berhutang, sehinggga ia terhindar dari pencarian kehormatan bagi dirinya. Kepemimpinan gereja yang ditandai oleh perilaku kehambaan, adalah bagian integral dari tata kerja Kerajaan Sorga.
1.2 Pengabdian Sebagai Hamba
Kepemimpinan hamba disebutkan oleh Rasul Petrus sebagai sifat pengabdian, yakni: “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri” (Petrus 5:2). Istilah pengabdian dalam kamus besar bahasa Indonesia, yakni: proses atau cara mengabdi, sedangkan kata mengabdi berarti menghambakan diri.2
Dengan demikian, dapat diambil pemahaman secara hurufiah berarti rajin dan tekun, atau berkemauan keras. Kata pengabdian mengekspresikan bahwa dalam kepemimipinan kehambaan, menyatakan semangat pemimpin kristen dalam memimpin umat Allah dengan mencurahkan seluruh aspirasi, tenaga dan konsentrasi ke dalam tugas dan tangggung jawabnya bagi kepemimpinan secara utuh. Pengabdian menandakan bahwa sikap kepemimpinan kehambaan harus dilakukan dengan segenap hati dan sangggup mengabdi meskipun dalam berbagai ancaman dan resiko. Ungkapan yang sama dipakai oleh Paulus dalam Roma 1:15, “Itulah sebabnya, aku ingin untuk memberitakan Injil kepada kamu juga yang diam di Roma”. Ini berarti Paulus bersedia untuk melayani, karena adanya kesiapan dan keinginan di dalam hati. Dengan demikian adanya perbedaan antara gembala yang benar dan gembala upahan. Gembala upahan bekerja karena dibayar, tetapi seorang gembala yang benar bekerja karena ia mengasihi domba-domba dan karena ia mempunyai hati yang diabadikan kepada mereka (bandingkan Yohanes 10:11-15).
Sikap pengabdian seorang pemimpin hamba di dalam jemaat sangat besar pengaruhnya. Hati yang diabadikan menandakan orang kepercayaan Allah. Sehubungan dengan itu Rasul Paulus menyatakaan sebagai berikut: “Demikianlah hendaklah orang memandang kami sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah.“ (1 Korintus 4:1).
Tanggung jawab seorang hamba ialah setia dan dapat dipercayai oleh tuannya. Tanggung jawab seorang pemimpin hamba bagi ialah kesetiaannya kepada Tuhan yang mempercayainya untuk memimpin dan ditandai dengan bukti pegabdian sebagai hamba Tuhan dalam pelayanannya di dalam jemaat. Searah dengan itu Leroy Eims menjelaskan:
Pemimpin adalah sarana utama yang digunakan Allah untuk menjaga umat-Nya agar tetap bergerak kearah yang benar dan mengerjakan hal yang benar, seorang pemimpin harus berani menghadapi kesulitan dan kritikan.3
Tanggung jawab seorang pemimpin kehambaan adalah melalui upaya pengabdiannya menjaga dan mengarahkan jemaat kepada arah yang dikehendaki Allah.
Mental pengabdian pemimpin kehambaan dalam jemaat bersifat persuasif dan utuh, karena hati yang diabdikan mampu menjalankan kepemimpinan kehambaan secara konsisten. Oleh karena Itu, Tuhan Yesus berkata: “Belajarlah kepada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan”(Matius 11:29).
1.3 Pokok Utama Tugas Hamba
Dalam kepemimpinan kehambaan bagi hal yang primer bukanlah hanya tugas memimpin, tetapi kesigapan pemimpin hamba adalah hal primer. Pokok utama bagi seorang pemimpin kehambaan adalah memuliakan Allah dalam hal apapun melalui pikiran, ucapan dan tindakan. Hal primer tersebut dijelaskan oleh John Stott sebagai berikut:
Jadi, bagi pengikut-pengikut Yesus, pemimpin itu tidak sinonim dengan menjadi tuan. Panggilan kita adalah untuk melayani, bukan untuk menguasai. Panggilan kita adalah menjadi hamba bukan menjadi raja. Memang benar, kepemimipinan mustahil tanpa otoritas tertentu. Tanpa itu siapapun tak bisa memimpin. Tidak terkecuali para Rasul. Mereka diberikan Yesus otoritas dan mereka menjalankan otoritas itu dalam mengajar dan mendidik ketaatan kepada gereja. Juga para pendeta jemaat masa kini, meskipun mereka bukan rasul dan tidak memiliki otoritas rasuli harus dihormati karena kedudukan mereka sebagai pemimpin jemaat (1 Tes. 5:12 dst). Bahkan harus ditaati (lbr.13:17). Namun, titik berat yang diletakkan Yesus bukanlah atas otoritas pemimpin-penguasa, melainkan atas kerendahan hati pemimpin-hamba.
Paulus mengutamakan hal primer kehambaannya di dalam memimpin berdasarkan kehendak Yesus Kristus: “Bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu, karena kehendak Yesus” (II Kor. 4:5). Jadi hal utama dari kepemimpian kehambaan bukanlah jabatan, kedudukan dan fasilitas, tetapi status hamba, tugas hamba dan perilaku hamba sebagai panggilan dalam memimpin, melayani dan menggembalakan umat Tuhan yang dipercayakan Tuhan. Oleh karena seorang pemimpin hamba adalah seorang hamba Tuhan yang melayani umat Allah dengan semangat kehambaan dan melakukan tugas-tugasnya di dalam kasih Kristus yang mengabdikan diri dan melayani dengan sikap kerendahan hati, tulus dan tanpa mementingkan diri sendiri. Dengan demikian, seorang pemimpin hamba juga berani untuk menerima serta menghadapi kesulitan dan kritikan yang ditujukan padanya.
2. Gaya Kepemimpinan Yesus Adalah Kepemimpinan Gembala
Kepemimpinan gembala dilakukan berdasarkan tipologi kepemimpinan Kristus segabai gembala. Kehidupan gembala adalah sentral dalam jemaat. Yesus Kristus berkata, seperti catatan rasul Yohanes: “Akulah gembala yang baik, Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (Yohanes 10:11).
2.1 Pengertian Gembala
Penulis Injil Yohanes menulis bahwa: “Yesus berkata kepada Petrus ‘Gembalakanlah domba-domba-Ku’” (Yoh. 21:15-17). Untuk kata “gembalakan”, ada dua istilah yang dipakai. Pertama kata “bosko” (boskw) yang berarti (to pasture, by extens, to fodder, reflex, to grase – feed, keep), yakni “memberi makan, memelihara, atau menyediakan makanan bagi domba-domba”.5 Sifat kata ini menunjuk pelayanan pemberitaan Firman, mengajar atau pelatihan dan menghibur. Kata yang kedua ialah “poimaino” (poimaino) yang berarti ( to tend as a shepherd ), yakni “bertindak sebagai seorang pemimpin, sebagai seorang gembala di dalam pemeliharaan, melindungi dan merawat domba – domba.”6 Sifat kata ini menjelaskan pemeliharaan seperti konseling, persekutuan, dan perkunjungan, serta upaya kasih.
Berhubungan dengan hal tersebut Spiros Zodhiates bermaksud bahwa fungsi kepemimpinan gembala dalam jemaat adalah sebagai komunikator dan koordinator untuk melakukan tugas–tugas memperlengkapi jemaat, membangun, menjadikannya dinamis, dan mempengaruhi, serta menggerakkannya bagi penginjilan dunia. Jadi, seorang gembala sebagai pemimpin berusaha untuk mempengaruhi dan menggerakkan jemaat dalam kuasa Roh Kudus.
2.2 Pengabdian Sebagai Gembala
Kepemimpinan gembala ialah mempengaruhi dan menggerakkan jemaat dengan menggunakan sarana Allah dan prasarana kepemimpinan dalam perilaku kepemimpinan. Secara teologis, Oswald Sanders menjelaskan bahwa menggerakkan dan mempengaruhi adalah pekerjaan Roh Kudus melalui Kuasa-Nya.
Tetapi seorang pemimpin rohani mempengaruhi orang lain bukan dengan kekuatan kepribadiannya sendiri saja, melainkan dengan kepribadian yang diterangi, ditembusi dan dikuatkan oleh Roh Kudus. Ia mampu mempengaruhi orang lain secara rohani hanya Roh Allah yang dapat bekerja di dalam dan melalui dia.7
Kepemimpinan gembala bagi bersifat misioner dan mencakup dua hal: pertama disebut “modalitas” yakni menggerakkan jemaat lokal untuk pekabaran injil di dalam konteksnya. Sedangkan kedua disebut istilah “sodalitas” berbicara tentang kepemimpinan gembala yang menggerakkan dan mempengaruhi jemaat secara universal untuk penginjilan dunia. Untuk secara tepat memahami kedua istilah ini, maka Ralph Winter menjelaskan:
Sebuah gereja merupakan modalitas. Gereja tidak memberikan batasan usia, jenis kelamin, saudara tidak pensiun dari gereja dalam usia tertentu. Saudara merupakan milik satu gereja pada satu saat dan mencakup seluruh keluarga. Sebuah kelompok luar gereja merupakan suatu sodalitas dimaksudkan sebagai suatu serikat atau persaudaraan religius yang didirikan untuk tujuan ketaatan, bantuan, atau tindakan.8
Oleh karena itu, kepemimpinan gembala tidak hanya melakukan penggembalaaan bagi umat yang sudah ada saja, tetapi melakukan tugas menghimpun bagi Allah suatu umat. Tugas itu merupakan kehendak Allah seperti dijelaskan oleh Dr. Y. Tomatala: “Penginjilan adalah rancangan dan karya Allah yang menghimpun bagi diri-Nya suatu umat untuk bersekutu, menyembah dan melayani Dia secara utuh dan serasi.”
Menghimpun bagi Allah suatu umat adalah ciri khas kepemimpinan gembala. Hal itu berarti tugas gembala tidak hanya bersifat koordinasi, tetapi juga bersifat komunikasi (memberitakan Injil). Dengan demikian, tugas kepemimpinan gembala senantiasa terpaut dengan keanggotaan gereja yang bertanggung jawab, karena tugas gembala menyangkut segala sesuatu dengan usaha membawa orang yang belum memiliki hubungan dengan Kristus ke dalam persekutuan dengan-Nya dan ke dalam keanggotaan gereja yang bertanggung jawab.
2.3 Tanggung Jawab Gembala Sebagai Pemimpin
Pemimpin gembala adalah model/gaya kepemimpinan yang didasarkan pada ajaran Tuhan Yesus, dengan mengambil metafora seorang gembala. Model/gaya pemimpin gembala memberi tekanan pada tanggung jawab kepemimpinan dalam memelihara para pengikutnya bagi pengembangan dan perkembangan gereja. Beberapa bagian Alkitab yang menjelaskan pemimpin gembala antara lain:
(1) Matius 9 : 36-37, analogi aspek gembala
(2) Matius 18 : 12, perumpamaan domba yang hilang
(3) Lukas 15 : 1-7, perumpamaan domba yang hilang
(4) Yohanes 10 : 1-18, Gembala yang baik
(5) I Petrus 5 : 1-4, pandangan Petrus tentang kepemimpinan
(6)Kisah Para Rasul 20 :17-38, menjaga kawanan domba.
Nilai kepemimpinan gembala secara pribadi tumbuh pada setiap pengikut. Oleh karena setiap orang ingin relasi kerajaan Allah tumbuh dan terwujud dalam kehidupan para pengikutnya (Yohanes 21; Kisah Rasul 20). Pemimpin gembala menaruh empati pada para pengikutnya dan menolong mereka mendapatkan kebutuhannya sehingga bertumbuh potensi sorgawi yang dimiliki (Matius 9:36-37). Pemimpin gembala melihat setiap pengikutnya penting dan membimbing mereka ke arah pertumbuhan penuh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan gembala adalah kepemimpinan yang sentral dalam gereja/jemaat. Kepemimpinan ini sebaiknya nyata dalam pelayanan pastoral, pelatihan, dan misi yang dilaksanakan dengan membimbing, melatih dan mengutus serta memelihara warga jemaat.
3. Gaya Kepemimpinan Yesus Adalah Kepemimpinan Pendidik
Kepemimpinan pendidik sangat dibutuhkan dalam hubungannya dengan pertumbuhan rohani anggota jemaat. Mengapa demikian, karena gereja adalah merupakan salah satu bagian dari komunitas (kelompok) rohaniah yang ada dalam masyarakat dan turut bertanggung jawab mencerdaskan bangsa dan jemaat Tuhan Yesus di dunia ini.
3.1 Pengertian Pendidik
Kata mendidik atau mengajar dalam 2 Timotius 3:16 dan Efesus 4:11 bahasa Yunaninya, disebut: didasko (didaskw) yang berarti: to teach, yang dimaksudkan Rasul Paulus bahwa para pemimpin gereja adalah orang – orang khusus yang dipanggil dan ditetapkan berdasarkan kasih karunia Allah. Mereka adalah pemimpin, pengatur, pembimbing, penasihat, pendorong, pendoa, pengkhotbah, pengajar, dan pendidik. Hal ini dapat dikatakan bahwa para pemimpin ini melakukan hal yang sama, yakni mengajar dan mendidik umat Allah. Secara teori, mengajar dan mendidik dapat dibedakan, tetapi secara praktek, keduanya tidak dapat dipisahkan, karena dalam hal mengajar ada unsur didikan, sebaliknya dalam hal mendidik ada unsur ajaran.
Para pemimpin pendidik menerima tugas yang berat, namun mulia. Selain sebagai orang khusus, mereka juga adalah orang – orang terlatih dan terdidik. Dengan perkataan yang lebih tepat, mereka adalah orang – orang yang melewati pendidikan formal dalam arti pendidikan resmi dari suatu institusi/lembaga.
3.2 Pengabdian Sebagai Pendidik
Didalam Kitab II Raja – raja 6:1-7, disebutkan ada sekolah nabi atau sekolah theologi. Para nabi adalah orang – orang theologi yang mendapat panggilan khusus dan menerima pendidikan formal, dengan dosennya adalah Elisa. Mereka juga mendapat pendidikan informal melalui keterampilan yang diperoleh di luar ruangan kuliah. Mereka bekerja memotong kayu untuk pembangunan asrama. Contoh lain terdapat dalam Daniel 1:3-20, perihal Daniel dan teman – temannya. Mereka memenuhi persyaratan raja, yakni pemuda yang terpilih, pemuda yang tidak bercela, berperawakan baik, berpengetahuan luas dan memahami berbagai hikmat serta cakap bekerja. Mereka diharuskan untuk mengikuti pendidik formal selama tiga tahun, setelah itu baru bekerja pada raja Nebukadnezar.
Oleh karena itu, kerajaan Nebukadnezar menjadi kuat dan kokoh, karena dipimpin oleh pemuda yang berkualitas, lebih lagi Daniel dan teman – temannya sepuluh kali lebih cerdas dari semua orang berilmu di seluruh kerajaan Nebukadnezar. Murid – murid Tuhan Yesus yang disebut para rasul adalah orang – orang terlatih yang mendapatkan pendidikan formal langsung dari guru agung, Tuhan Yesus Kristus. Bahkan kuliah kerja nyata dilakukan dan diadakan evaluasi pelayanan (bdn Lukas 9 : 1-10; 10 : 17-20). Para rasul juga melewati pendidikan informal yakni berjalan bersama Tuhan Yesus Kristus dan
melayani bersama dengan-Nya. Maka dapat dipastikan bahwa seluruh pemimpin gereja yang dinyatakan dalam teks ini adalah orang – orang yang berpendidikan baik formal maupun informal.
3.3 Pemimpin Pendidik dan Tanggung Jawabnya
Pendidikan harus dipahami sebagai pendidikan. Artinya, pendidikan merupakan usaha sadar dengan tujuan tertentu. Dengan demikian, hal ini sungguh- sungguh untuk membimbing dan melengkapi individu dan kelompok menuju kedewasaan, khususnya dalam cara berpikir, sikap, iman dan perilaku. Oleh karena itu, pendidikan menuntut pemikiran atau pemahaman serta pengelolaan yang dilakukan dalam gereja adalah untuk meningkatkan kualitas para pemimpin dan jemaat dalam lingkungan gereja (Kol 1 : 28-29). Oleh karena itu, tanggung jawab setiap pemimpin pendidik bagi adalah menjadikan pendidikan bukan sebagai pilihan, atau sampingan, melainkan sebagai kontribusi bagi peningkatan kualitas manusia. Dengan demikian, kedudukan pendidikan dapat dipahami dalam gereja sebagai pendidikan dan pengajaran atau tepatnya pengajaran meningkatkan pengetahuan umum dan iman Kristen. Oleh karena jika jemaat Tuhan yang dididik memahami dan memiliki wawasan yang luas, maka dengan sendiri mereka akan terlibat aktif dalam usaha pengembangan dan perkembangan gereja.
4 Kepemimpinan Penatalayanan Bagi Pertumbuhan Gereja
Sebagaimana yang telah diungkapkan pada halaman terdahulu karya ini, perihal definisi, Kepemimpin kristen adalah cara bekerja dan bertingkahlaku seorang pemimpin dalam membimbing, menuntun dan mengarahkan pengikut-pengikut untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan, ditetapkan bersama, yang dikehendaki, oleh Kristus dan bagi kemuliaan Kristus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin adalah seorang penatalayanan. Oleh karena itu, di bawah ini akan diuraikan secara jelas perihal kepemimpinan penatalayanan.
4.1 Pengertian Penatalayanan
Dr. Y. Tomatala memberikan istilah “penatalayanan” sebagai berikut: Penatalayanan adalah padanan dari kata “stewardship” (bahasa Inggris). Penggunaan kata istilah ini dalam Perjanjian Lama artinya “kepala rumah (tangga)”, dalam bahasa Ibrani - ha-is asher al (Kejadian 43:19) atau “kepala rumah” (Kejadian 44:4), dalam bahasa Ibrani – asher al bayith artinya orang yang kepadanya dipercayakan tanggung jawab dan tugas untuk mengepalai dan mengurus harta serta segala kegiatan di dalam rumah tangga. Istilah lain yang ada hubungan arti dengan ini ialah “hamba yang lahir di dalam rumah tuannya, yang diterima dan memperoleh hak sebagai pewaris” (Kejadian 15:3-4), dalam bahasa Ibrani disebut ben mesheq. Di samping itu terdapat juga istilah sar dalam bahasa Ibrani berarti “orang yang melayani” (I Tawarikh 28:1), dalam kedudukan sebagai pangeran, kepala atau kapten (kepala pasukan). Rangkuman arti kata-kata di atas menjelaskan bahwa steward/penatalayan adalah “orang yang dipercayai dan diberi hak serta tanggung jawab untuk mengepalai, mengatur dan mengerjakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya.” Steward/penatalayan ini berstatus “kepala”, ditunjang oleh “hak” serta “kewajiban” penuh”, dan tanggung jawab tugas yang diberikan kepadanya untuk menjalankan pengabdiannya kepada “pemimpinnya”, entah ia adalah pemimpin rumah tangga atau raja.
Perjanjian Baru mengunakan istilah bahasa Yunani epitropos (epitropoV) (Matius 20:8; Lukas 8:3) untuk menjelaskan tentang “seorang yang mendapat kehormatan dan kepercayaan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu.” Istilah bahasa Yunani yang lain ialah oikonomos (oikonomoV) yang berasal dari kata oikos (rumah) dan nomos (mengurus) (band. Lukas 16:2,3,4; 12:42; I Korintus 4:1,2; Titus 1:7; I Petrus 4:10). Istilah ini menerangkan tentang “seseorang yang kepadanya telah dipercayakan/didelegasikan tanggung jawab penuh.”9
Sehubungan dengan pernyataan di atas, maka M. S. Anwari, memberikan pengertian istilah penatalayanan terdiri dari dua kata dasar, yakni “tata” dan “layan”. “Tata” artinya aturan, dan dari kata “layan”, muncul istilah “pelayanan”. Dengan demikian, penatalayanan mempunyai pengertian: Aturan untuk mengatur pelayanan, istilah ini terjemahan dari kata “Stewardship” (bahasa Inggris).
“Kepemimpinan yang identik dengan pelayanan diungkapkanYesus: “sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Matius 20:28). Menjadi pemimpin berarti menjadi pelayan dari umat/jemaat Tuhan. Kepemimpinan penatalayanan harus berlandaskan kerendahan hati dan kerelaan untuk mendahulukan kepentingan jemaat Tuhan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh John Stott bahwa: “alasan utama Yesus menitik beratkan peranan melayani dari seorang pemimpin ialah karena dengan melayani orang lain kita diam-diam mengakui harkat orang-orang selaku manusia.” Kepemimpinan penatalayanan melayani senantiasa berupaya untuk mengutamakan kesejahteraan manusia. Sehubungan dengan hal tersebut, Owals Sanders berpendapat bahwa:
Sama seperti bangsa Israel adalah bagian khusus milik Allah, maka orang-orang yang harus kita layani di gereja atau dimanapun merupakan bagian khusus kita; seluruh sikap kita terhadap mereka haruslah menyerupai sikap Allah; kita harus menggembalakan mereka seperti Allah.
Oleh karena itu pemimpin penatalayanan memimpin dengan memprioritaskan orang yang dipimpin sebagai suatu pelayanan, bertalian dengan hal ini, maka Myron Rush berpendapat bahwa: Yesus memerintahkan kita untuk melayani kebutuhan orang-orang lain. Memberi pelayanan bagi orang lain berarti kita harus menempatkan orang lain pada tempat pertama. Suatu tekat pelayanan sebagai gaya hidup melibatkan suatu tekad untuk melayani orang lain sebagai gaya hidup.
Pemimpin penatalayanan yang memimpin dengan melayani, berarti sedang melakukan upaya kemanusiaan. Oleh karena itu, pemimpin penatalayanan memimpin dengan memperhatikan kebutuhan orang yang dipimpin sedang melatih kepekaannya terhadap suasana bathin dirinya sendiri dan orang yang dipimpin. Dengan demikian, sehubungan dengan hal tersebut, maka J. Riberu berpendapat bahwa:
Supaya tindakan pemimpin benar-benar manusiawi maka di samping memperhatikan segala segi secara objektif dan rasional, pemimpin harus pula peka terhadap suasana batin, suasana kejiwaan, perasaan, dan gejolak kepribadian yang ada pada bawahan, khususnya yang terkena suatu tindakan atau keputusan. Pemimpin berusaha memperhitungkan harga diri, percaya diri, dan paham keyakinan yang dianuti bawahannya. Ia mencoba melayani suasana jiwa, iklim batin yang bergejolak dalam diri mereka. Dengan demikian pemimpin tidak saja memperhatikan segi obyektif rasional permasalahan tetapi juga segi subyektif rasional permasalahan rasional tetapi juga segi subyektif emosiomal. Ia bertindak lebih proporsional karena itu lebih arif.
Hal yang merupakan kerawanan di dalam kepemimpinan penatalayanan ialah bilamana pemimipin penatalayanan bermental bos. Pemimpin yang establish (penguasa tetap) harus mengalami transformasi akal-budi, dari mentalitas bos kepada mentalitas pelayan. Pemimpin yang adalah penguasa akan memimpin dengan cara memerintah atas orang yang dipimpinnya. Namun pemimpin yang melayani memimpin dengan cara berjalan di tengah-tengah mereka yang dipimpinnya.
Pemimpin yang melakukan kepemimpinan sebagai pelayanan, dapat mengatasi perbedaan-perbedaan (jarak) antara dirinya dan jemaat. Bahkan perbedaan-perbedaan itu tidak dirasakan oleh jemaat.
4.2 Kepemimpinan Penatalayanan dan Tujuannya
Tujuan kepemimpinan penatalayanan bukan hanya mengutamakan soal aktivitas saja, tetapi mengutamakan juga soal pertumbuhan/pengembangan dan kematangan/kedewasaan seorang pemimpin. Oleh karena orang yang matang dan yang bertumbuh di dalam Tuhan, tidak bersusah hati melakukan pelayanan. Dengan demikian, seorang pemimpin penatalayanan harus bertumbuh di dalam kepribadian pemimpin dan mengakibatkan kematangan di dalam kepemimpinannya. Berhubungan dengan hal itu pemimpin di dalam pegembangan pelayanannya, dijelaskan oleh Myron Rush sebagai berikut:
Pelayanan harus menjadi gaya hidup dari seluruh organisasi, bukan hanya sesuatu yang dilakukan disuatu bagian atau seksi yang dirancang khusus untuk maksud itu. Pribadi yang untuk mengembangkan puncak kemampuannya sebagai seorang manejer haruslah bertekad melayani sebagai suatu gaya hidup.15
Kepemimpinan sebagai suatu pelayanan harus menjadi paradigma (gaya hidup) bagi pemimipin gereja/kristen. Oleh karena, dengan melakukan pelayanan mentalitas pemimpin dalam kepemimpinannya bersandar kepada Allah dan kematangan memimpin nyata dalam perilaku terhadap orang yang dipimpin.
Oleh sebab itu, gaya hidup pemimpin penatalayanan yang melayani sebagai suatu dinamika dijelaskan Myron Rush sebagai berikut:
Pelayanan bukanlah suatu tugas yang hina, sesungguhnya justru kebalikannya yang benar. Pelayanan adalah panggilan tertinggi dan kegiatan terpenting. Terapkanlah pelayanan sebagai suatu gaya hidup pribadi pada saat Anda melakukannya. Anda akan mengembangkan kemampuan Anda sebagai seorang manejer.16
Pemimpin penatalayanan selalu berkembang di dalam pelayanan, terwujud dalam jiwa jemaat. Pemimpin penatalayanan bagi yang melakukan pelayanan telah mengkomunikasikan rencana dan kehendak Allah bagi mereka yang dipimpin.
Dengan demikian, suatu kemampuan dan hal penting dapat diberikan oleh seorang pemimpin penatalayanan dalam pelayanan kepada jemaatnya. Pemimpin penatalayanan bagi bergaul secara baik dengan jemaat yang dipimpinnya. Pelayanan terjadi dari diri pribadi kepada pribadi, demikianlah yang dilakukan oleh pemimpin penatalayanan dalam pelayanan. Pemimpin penatalayanan harus berupaya membangun dan memelihara hubungan baik agar terjadi pelayanan yang berkualitas di dalam jemaat.
4.3 AktualisasiKepemimpinan Penatalayanan
Salah satu fungsi kepemimpinan penatalayanan adalah aktualisasi pelayanan. Di mana pemimpin penatalayanan bagi bukan hanya melakukan kepemimpinan, tetapi melalui kepemimpinannya mengarahkan orang yang di pimpin dengan upaya pelayanan. Kata memimpin (I Kor. 12:28) dalam bahasa Yunani: “Kuberneeseis (kubernhseiV) yang berarti mengarahkan”.
Kata tersebut secara lazim digunakan bagi seorang jurumudi yang sedang mengarahkan kapalnya menuju tujuan dan sasaran. Tanggung jawab para pemimpin penatalayanan adalah untuk mengemudi, menentukan tujuan gereja ke sasaran yang jelas. Anggota jemaat perlu diberi penjelasan tentang arah yang mereka tuju. Hal itu hanya dapat dilakukan melalui aktualisasi pelayanan sebagai upaya kepemimpinan. Oleh karena, tanpa kepemimpinan yang demikian, gereja-gereja akan merosot menjadi suatu lingkaran pertemuan-pertemuan saja. Gereja eksis/ada, tapi tidak seorangpun yang mengetahui pasti mengapa gereja ada.
Pemimpin penatalayanan adalah mereka yang memiliki pengaruh ilahi terhadap orang yang dipimpin. Oleh karena itu, kepemimpinannya harus ditandai dalam aktualisasi pelayanan. Kepemimpinan penatalayanan dalam aktualisasi pelayanan, ditandai dengan adanya pelayanan seutuhnya dalam semua bidang dan kategorial. Sehingga kepemimpinan penatalayanan itu menjadi dinamis.
Para tua-tua Israel memberi nasehat kepada Rebeam agar mengupayakan kepemimpinan penatalayanan: “Jika hari ini engkau mau menjadi hamba rakyat mau mengabdi kepada mereka dan menjawab mereka dengan kata-kata yang baik, maka mereka menjadi hamba-hambamu sepanjang waktu” (I Raja-raja 12:7).
Kepemimpinan penatalayanan adalah kepemimpinan yang terbuka terhadap bawahan. Dengan demikian hal keterbukaan pemimpin penatalayanan dijelaskan oleh Oktavianus sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan keterbukaan bagi seorang pemimpin ialah: terbuka terhadap pandangan oranglain, terbuka menerima kritik, terbuka melihat kesalahannya dan juga terbuka mengakui kesalahan dankekurangan, baik yang disadari sendiri maupun yang ditunjuk olehorang lain.17
Dalam kepemimpinan penatalayanan bagi pertumbuhan gereja pada umumnya pemimpin menetapkan staf untuk kekuatan bagi pelayanannya. Oleh karena itu berhubungan dengan aktualisasi penatalayanan, maka Frang Damazio berpendapat sebaliknya:
Pelayanan senior atau orang yang ditetapkan bisa saja berfungsi dalam beberapa atau semua ekspresi pelayanan. Ia bisa saja melakukan beberapa hal lebih baik daripada oranglain. Biasanya sebuah tim kepemimpinan yang berimbang dibangun untuk menguatkansisi yang lebih lemah dari gembala senior. Peraturan adalah: Jangan sekali kali mencari staf untuk kekuatan anda; selalu cari staf guna membantu kelemahan kelemahan anda.18
Dengandemikian, pemimpin penatalayanan yang bertumbuh dalam pelayanan adalah pemimpin secara aktual menyadarkan kekuatannya pada bawahannya. Oleh karena itu, kata-kata hikmat disampaikan Tuhan Yesus “segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Matius 7:12).
5. Gaya Kepemimpinan Yesus Adalah Kepemimpinan Pemulihan
Di dalam sebuah gereja seorang gembala sidang disebut juga seorang pemimpin, dan kepemimpinan seorang gembala adalah penting. Oleh karena itu, seorang pemimpin perlu belajar akan hal-hal yang baru, ini penting untuk menjaga eksistensi atau wibawa gembala dihadapan jemaat. Seorang pemimpin yang mau belajar adalah pemimpin yang mau dipulihkan. Pemulihan itu meliputi gaya kepemimpinan pemimpin tersebut.
5.1 Pengertian Pemulihan
Kepemimpinan pemulihan bagi merupakan upaya rekonsiliasi (perdamaian, kerukunan) dalam pelayanan gereja. Searah dengan itu rasul Paulus berpesan kepada para pemimpin jemaat di Galatia, sebagai berikut: “Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan sesuatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan kena percobaan” (Galatia 6:1).
Istilah memimpin dalam bahasa Yunani katartizete (dalam bentuk present, aktif, imperatif) berasal dari Katartizo, yang berarti memulihkan, memperbaiki atau memperlengkapi. Kepemimpinan pemulihan senantiasa ditandai oleh kepemimpinan dalam upaya pemulihan, memperbaiki atau memperlengkapi anggota jemaat bagi pelayanan dan pertumbuhan.
Dengan demikian, sehubungan dengan itu Paulus menggunakan istilah katartizo, menjelaskan bahwa seorang pemimpin yang melayani dalam pemulihan, adalah seorang yang memiliki ketrampilan (skill), pengetahuan organisasi dan menjadi katalisator dalam kepemimpinan sehingga dapat mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan jemaat dan misi bagi pertumbuhan.
Oleh karena itu, Yesus mengupayakan dengan memperlengkapi murid-murid, melalui ajaran-ajaran-Nya. Dan kemudian hari diteruskan oleh Roh Kudus dalam kuasa dan hikmat-Nya. Tuntutan kinerja kepemimpinan gereja sangat tinggi dalam mempengaruhi dan memperlengkapi jemaat. Dalam hal ini Frank Damazio berpendapat, “Orang yang ditetapkan memiliki tanggung jawab untuk meghimpun pemimpin-pemimpin potensial dan mengembangkan mereka untuk menjadi pemimpin-peimpin yang baik untuk jemaat. Kartartizo harus merupakan kinerja kepemimpinan gereja dalam memperlengkapi orang yang dipimpin. Oleh karena itu, para pemimpin pemulihan bagi memerlukan hikmat dan iman melalui pengalaman dan kematangan memimpin.
Kinerja kepemimpinan pemulihan harus dapat memperkaya orang yang dipimpin. Dalam hal ini P. Octavianus berpendapat bahwa: “Kepemimpinan Kristen yang baik ialah memperkaya kepribadian orang yang dipimpin, memperkaya melalui imannya, pengorbanannya, hidup rohaninya dan kepribadiannya. Peranan kepemimpinan dalam mempersiapkan orang yang dipimpin untuk pelayanan, adalah menolong mengarahkan mereka menemukan dan mengorbankan karunia-karunia yang ada dan menyediakan peluang untuk mempergunakan bagi kemuliaan Kristus.
Kepemimpinan pemulihan bagi pertumbuhan gereja senantiasa mendorong seorang pemimpin untuk melaksanakan tanggung jawabnya, dalam konteks pemulihan memimpin orang dari tempat/kondisi yang tidak layak baginya ke tempat yang layak baginya. Pemimpin pemulihan bagi pertumbuhan gereja melaksanakan kepemimpinannya, dengan mengisi cela-cela kekurangan dari orang-orang yang dipimpin, dan mengupayakan kesempurnaan bagi mereka yang dipimpin. Berhubungan dengan hal itu, maka Leroy Eims, menyatakan sebagai berikut:
Semuanya ini dilakukan dengan tujuan menolong orang melakukan pekerjaan yang telah diberikan Allah kepada mereka, menolong mereka agar bertumbuh menjadi kuat dalam Tuhan dan kebesaran-Nya, dapat membedakan mana kehendak Allah dan melaksanakannya, hidup dalam persatuan dan membina watak Kristen yang saleh.21
Pemimpin pemulihan secara tidak langsung sedang membina jemaat menuju kesalehan. Oleh
karena itu, pemimpin harus menghindari diri dari menghakimi mereka yang jatuh ke dalam dosa. Akan tetapi, ia harus merangkul secara pribadi lalu mengupayakan pemulihan.
5.2 Pemulihan dalam Kinerja Kepemimpinan
Kepemimpinan pemulihan selalu melibatkan kinerja kepemimpinan. Kinerja tersebut menyangkut kemampuan (skill) dan kesanggupan (abillity) pemimpin dalam upaya memperlengkapi orang-orang yang dipimpin. Kepemimpinan pemulihan dalam kinerja kepemimpinan adalah kepemimpinan yang melengkapi atau suatu upaya memperlengkapi orang-orang yang dipimpin. Istilah kartatizo yang melibatkan kinerja kepemimpinan disampaikan Paulus sebagai berikut: Dan ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, pemberita-pemberita injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus (Efesus 4 : 11-12).
5.3 Pemulihan dan Pembangunan
Kepemimpinan pemulihan tidak dapat dipisahkan dari usaha pembangunan, yang mencakup pembangunan mental, fisik dan rohani. Oleh karena itu, orang-orang yang dipimpin harus terlebih dahulu dibangun secara utuh. Pemimpin harus dapat membangun kerjasama dengan bawahan. Dengan demikian, dalam mempertahankan adanya motivasi dan semangat juang yang tinggi harus ada upaya membina kerjasama oleh pemimpin untuk menolong para bawahan agar mengembangkan potensi yang ada pada mereka. Allah memberi tanggung jawab kepada para pemimpin, untuk membangun orang-orang yang dipimpin melalui pembinaan dan pelatihan agar memiliki jiwa pembangunan. Kepemimpinan pemulihan dalam upaya pemulihan, senantiasa berdampak rekonsiliasi, pembangunan dan kesejahteraan bagi orang-orang yang dipimpin.
6. Gaya Kepemimpinan Yesus Adalah Kepemimpinan Misi
Kepemimpinan misi adalah aspek utama yang menjadi media bagi pengembangan gereja. Kepemimpinan misi harus mampu menyiapkan para penginjil, anggota gereja/jemaat Kristus sehingga mereka mampu membawa jiwa-jiwa, membuka pos-pos penginjilan, dan mulai mendirikan gereja baru.
Misi didasarkan pada fakta bahwa umat Tuhan telah dikuduskan untuk menjadi alat berkat. Misi didukung oleh Tuhan yang pengutus para utusan.22
6.1 Pengertian Misi
Secara leksikal, misi bisa berarti tugas khusus, yang sering kali juga dipakai untuk menamai pejabat khusus atau utusan. Mission berasal dari kata mitto (bahasa Latin) yang artinya misi, mission, pengutusan, zending, to send away. Mc. Gavran menyebut mission is Gods program for man dan Van Engen mengatakan mission is the doing of mission or the task of mission.23
Dari sekelumit pengertian di atas, maka Dr. Yakob Tomatala mendefinisikan bahwa: Mission adalah rancangan kekekalan shalom Allah yang dimandatkan kepada umat-Nya dengan mengutus mereka untuk membawa shalom kepada manusia dan segenap ciptaan Allah, yang memanggil orang berdosa kembali kepada Allah melalui pertobatan dan iman serta hidup sebagai umat Allah yang bertanggung jawab bagi kejayaan kerajaan Allah.24
Oleh karena itu, kepemimpinan misi bagi pertumbuhan gereja harus ditandai oleh Amanat Agung dalam Matius 28:19 yang bersifat imperatif (keharusan melakukan) “jadikanlah semua bangsa murid-Ku”. Amanat Agung harus menjadi paradigma bagi kepemimpinan misi. Pemimpin gereja yang ingin gerejanya bertubuh, harus dapat menggalangkan misi dalam kepemimpinan gereja. Untuk menanamkan suatu gereja lokal sebagai gereja misioner, harus dimulai lebih dahulu dari pemimpin untuk memimpin secara kepemimpinan misi. Sehingga gereja secara bentuk adalah misi. Maka dapat dikatakan bahwa pemimpin misi adalah misionaris. Maksudnya para pemimpin gereja adalah pelaku-pelaku misi melalui kepemimpinannya. Meskipun ia memimpin jemaat secara lokal, tetapi wawasannya global. Oleh karena, misi membuat seorang pemimpin berpikir global. Oleh sebab itu, misi membuat seorang pemimpin berpikir global dan bertindak lokal. Jika seorang pemimpin gereja memimpin dalam dorongan evangelistik, maka orang- orang yang dipimpin melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, Peter Wagner menjelaskan sebagai berikut:
Tanda penting nomor satu dari gereja yang sehat dan bertumbuh adalah seorang gembala sidang yang menganut cara berpikir serba mungkin dan yang kepemimpinan dinamisnya digunakan untuk mempengaruhi seluruh gereja supaya bekerja bagi pertumbuhan.25
Gembala sidang/pemimpin gereja yang berpikir misi, akan melakukan kepemimpinan dalam pola itu. Sehingga segala daya dan upaya misi tercermin dalam prilaku kepemimpinan dan berakibat terjadinya gerakan misi serta adanya pertumbuhan. Dapat dikatakan bahwa misi adalah denyut jantung gereja. Sesuai dengan itu, Frang Damazio menjelaskan :Penginjil/gembala biasanya menghasilkan sebuah gereja yang bertumbuh karena fokus dan kekuatan dari pemimpinnya yang berkarunia. Karismanya dan pengajaran yang berorientasi pada kebutuhan dengan penyembahan yang hebat menghasilkan suatu suasana yang beraliran iman dan pengharapan rohaniah. Misi dan penginjilan biasanya menjadi denyut jantung gereja.26 Kepemimpinan gereja harus dapat membangun misi dengan segala upaya dan daya, agar ada komitmen bagi misi sedunia.
6.2 Kepemimpinan dan Komitmen Misi
Pembentukan karakter seorang pemimpin sehingga ia memiliki komitmen misi dijelaskan Y. Tomatala bahwa, dalam pembentukan karakter seorang pemimpin ada sasaran, ialah supaya ada kualitas hidup. Kualitas hidup semangat/jiwa seorang pemimpin harus dibentuk sehingga ada tanda-tanda sebagai berikut:
(1) Memiliki karakter Kristus (Christ Like a Leader), yakni berpikir, berperilaku dan melayani sebagaimana Kristus lakukan.
(2) Memiliki pengetahuan dan kemampuan (knowledge and skill) yang bersifat sosial (hubungan dengan orang) dan teknis (yang berhubungan dengan kerja).
(3) Memiliki tanggung jawab tinggi (sense of responsibility) kepada Allah, kepada gereja, diri, dunia, serta kerja yang ada padanya.
(4) Hidup bersama (sense of mission) yang memberi motivasi dan dinamika bagi hidup bersama.26
Para pemimpin gereja yang mengalami formasi rohani, mengakibatkan stimulasi untuk berjiwa misi sehingga mereka tidak jatuh dalam dosa “lips service” Pemimpin kristen yang menganut kepemimpinan hamba telah dipastikan berjiwa misi. Sebab hakekat dan bentuk tidak mungkin saling bertentangan.
Tujuan dan sasaran misi bagi kepemimpinan gereja adalah membangun Tubuh Kristus yakni gereja, agar menjadi dewasa dalam kasih, keesaan dan kekudusan. Sehingga ada kesaksian melalui penginjilan dan pengabdian secara penuh kepada dunia secara rohani berada dalam kegelapan.
(I Yoh. 4:8). Istilah kasih dalam bahasa Yunani Agape menunjuk pada tindakan tanpa pamrih. Kasih itu bersifat memberi. Kasih memberi perhatian untuk kebaikan orang lain tanpa keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Hakekat dasar dari istilah Agape ialah pengorbanan diri, pengampunan dan membangun bukannya meruntuhkan, mengupayakan kebaikan bagi orang yang dikasihi.
Agape adalah sifat hakekat Allah, karena itu pemimpin harus menunjukkan bertumbuhnya kasih bagi gereja yang dipimpinnya dan bagi pemimpin yang tidak menerapkan pola kasih, berarti tidaklah memimpin dalam ketetapan Allah. Kepemimpinan kasih senantiasa ditandai perilaku kasih. Kasih Allah merupakan model dalam kepemimpinan rohani. Oleh karena itu hendaknya kepemimpinan kasih tercermin didalam kepemimpinan Kristen.
7.2 Aktualisasi Kepemimpinan Kasih
Kebanyakan pemimpin cenderung hanya berorientasi pada sasaran yang ingin dicapai, tetapi tidak peka terhadap masalah manusia. Sering pemimpin gereja merasa tertekan oleh banyaknya tanggung jawab dan tidak mempunyai waktu untuk orang lain yang bekerja sama dengannya. Bagi kebanyakan pemimpin, tugas-tugas yang harus diselesaikan tampak lebih penting daripada kebutuhan dan problema orang-orang yang dipimpinnya. Hal seperti itu dapat membuat pemimpin akan kehilangan kasih. Oleh karena itu, Paulus menyampaikan rumusan kasih sebagai landasan kasih Kristus sebagai berikut:
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong; ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri; ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, sabar menanggung sesuatu, (I Korintus 13:4-7)
Kepemimpinan yang ditandai oleh kepemimpinan kasih, dinyatakan Paulus sebagai sifat-sifat kasih yang harus dimiliki oleh para pemimpin. Pemimpin harus dapat secara konsisten menunjukan kasihnya dalam segala waktu,”seorang pemimpin yang dapat diandalkan dalam saat-saat yang sukar atau cobaan, kasihnya selalu ada.
Kepemimpinan kasih senantiasa mengutamakan kebutuhan bawahan. Dalam hal ini Hocking berpendapat: “Jika para pemimpin menunjukkan kasih, mereka pasti merasa tertarik oleh kebutuhan orang lain.”
Kasih seorang pemimpin terhadap mereka yang dipimpin/jemaat Tuhan, mengakibatkan wibawa pemimpin bertambah dan nyata dalam kepemimpinannya. Oleh karena itu, Peter Wagner berpendapat bahwa:
Jenis kasih yang dimiliki jemaat dalam gereja yang bertumbuh terhadap gembala sidang mereka membawa beberapa implikasi yang tidak selalu dapat disadari pada permulaannya. Salah satunya adalah bahwa gembala sidang pada akhirnya memiliki wibawa yang besar. Ini bukan wibawa yang dilimpahkan melalui pentahbisan, pengetahuan atau uraian tugas. Ini adalah wibawa pemberian Allah yang diperoleh gembala sidang melalui berbagai hubungan.
Wibawa seorang pemimpin bukan datang dari kekuatan struktural atau hirarkhi, melainkan dari kasih Allah yang dinyatakan dalam kepemimpinannya. Dalam kepemimpinan Kasih, kasih Allah secara luas mempengaruhi mereka yang dipimpin, sehingga ia dapat mempengaruhi mereka yang dipimpin untuk mengasihi Allah, gereja, dan penginjilan bahkan gembala sidang itu sendiri.
Salah satu unsur penting dari kasih yang diperlukan seorang pemimpin, ialah kesabaran. Oleh karena itu, Hocking menjelaskannya sebagai berikut:
Suatu pernyataan yang sederhana saja, kasih itu sabar. Bila pemimpin sabar terhadap orang lain, orang-orang akan tahu bahwa kita sungguh-sungguh memperha-tikan mereka. Kata Yunani untuk sabar menunjuk kepada waktu yang panjang untuk mendidih. Kata ini selalu dipakai untuk orang-orang bukan untuk benda-benda. Ia tidak membutuhkan kesabaran seperti itu. Dia menguasai segala sesuatu. Akan tetapi Allah sungguh memiliki Kasih pada semuaorang.
Kesabaran ini tidak bergantung pada motivasi, tetapi kasih Allah bagi pemimpin pertumbuhan gereja mengekspresikan faktor kesabaran dalam kepemimpinann (penggembalaannya).
7.3 Membagi Hidup sebagai Perilaku Kepemimpinan Kasih
Di dalam kepemimpinan Kasih ada aspek membagi hidup, Yesus berkata: ”sama seperti anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tembusan bagi banyak orang.” (Matius. 20:28). Kalimat “memberikan Nyawa-Nya” dalam bahasa Yunani “dounai teen psucheen autou” mengekspresikan membagi hidup. Istilah dounai dapat diterjemahkan dengan “membagi sesuatu yang dianggap sangat berharga bagi orang lain” Paulus menjelaskan membagi hidup demikian : “bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin , sekalipun ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinanNya.” (II Kor.8:9). Istilah Psyche lebih tepat diterjemaahkan sebagai hidup (life) daripada nyawa, karena menyangkut moral. Yesus membagi hidup-Nya sebagai kepemimpinan kasih. Istilah membagi hidup diterjemahkan dari bahasa Inggris “sharing Life” secara etimologis dibentuk dari dua kata: share dan life. Kepemimpinan yang membagi hidup selain memberikan gagasan-gagasan kepada orang yang dipimpin, juga menerima gagasan-gagasan dari orang yang dipimpin. Dalam membagi hidup pemimpin perlu memiliki kepekaan seperti yang dikatakan J.Riberu :
Supaya tindakan pemimpin benar-benar manusiawi maka disamping memperhitungkan segala segi secara obyektif dan rasional, pemimpin harus pula peka terhadap suasana batin, suasana kejiwaan, perasaan dan gejolak kepribadian yang ada pada bawahan.
D. Rangkuman
Kepemimpinan Rohani didasarkan pada kepemimpinan Yesus Kristus. Kepemimpinan Yesus Kristus bergaya hamba, gembala, pendidik, penatalayanan, pemulihan, misi, dan kasih. Dimana kepemimpinan itu identik dengan karakter Kristus.
Oleh karena itu, teladan pemimpin dalam kepemimpinannya hendaknya terfokus pada apa yang telah diajarkan oleh Yesus Kristus, yakni:
(1) Pemimpin hamba yang melayani umat Allah dengan semangat kehambaan dan melakukan tugas-tugasnya dengan sikap rendah hati, tulus dan tanpa mementingkan diri sendiri.
(2) Pemimpin gembala melihat pengikutnya penting dan membimbing mereka ke arah pertumbuhan penuh.
(3) Pemimpin pendidik bertugas untuk mengatur, membimbing, mendorong, serta mengajar atau mendidik.
(4) Pemimpin penatalayanan ditandai dengan adanya pelayanan seutuhnya dalam semua bidang dan katagorial.
(5) Pemimpin pemulihan senantiasa membangun kerja sama dengan pengikutnya.Ia memberikan motivasi dan semangat juang yang tinggi dalam upaya membina kerja sama.
(6) Pemimpin misi bertanggung jawab menggerakan umat Allah untuk melaksanakan misi secara utuh.
(7) Kepemimpinan kasih membagi hidupnya dan memberikan gagasan kepada orang yang dipimpin.
Kepemimpinan kristen tidak sama dengan kedudukan atau jabatan, tetapi merupakan upaya pelayanan. Pemimpin yang melakukan pelayanan bertumbuh dalam pelayanan, sehingga mencapai kematangan (maturity) dan penuh dengan pengalaman serta rendah hati. Kemantapan kepemimpinan senantiasa berupaya untuk mengadakan rekonsiliasi. Oleh karena itu, kepemimpinan kristen dalam gereja senantiasa melakukan perubahan, ditandai dengan upaya memperbaiki dan memperlengkapi. Dalam upaya tersebut pemimpin harus memiliki kemampuan (ability) dan keahlian (skill) untuk mewujudkan usaha penataan dan memperlengkapi orang-orang yang dipimpin. Sehingga implementasinya nyata pada pembangunan tubuh Kristus secara utuh. Dengan demikian, maka kinerja seorang pemimpin diuji, apakah pemimpin itu dinamis atau tidak. Akan tetapi, memahami, menghayati dan melakukannya merupakan tanda kepemimpinan yang dinamis dan dikuasai oleh kepemimpinan Yesus kristus.
No comments:
Post a Comment